Minggu, 14 Desember 2008

Menyoroti Konflik Sejumlah Pilkada


Salah satu pilar otonomi daerah ialah kemandirian memilih pemimpin daerah melalui pilkada. Hanya, pilkada ini sarat konflik. Sebegitu urgenkah pilkada bagi kemajuan daerah? Berikut analisis peneliti The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) Dadan S. Suharmawijaya.

-----------

Di antara banyak hal yang memengaruhi kemajuan daerah, salah satunya adalah kebijakan publik yang dikeluarkan di daerah tersebut. Demikian pula penentuan kebijakan daerah dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, tergantung kepemimpinan di daerah itu. Di sini tampak benang merah antara kemajuan daerah dan pemilu kepala daerah (pilkada) secara langsung. Poin penting di dalamnya adalah peran kepala daerah dan proses pemilihan secara langsung.

Berdasar hasil studi implementasi Otonomi Daerah The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi sejak 2002, peran kepala daerah memang sangat menentukan. Baik dalam proses pembuatan kebijakan, inisiatif, maupun implementasi program-program inovatif di daerahnya.

Pada proses pembuatan kebijakan, misalnya, peran kepala daerah memiliki bobot yang paling tinggi, mencapai angka 73,7 persen. Bandingkan dengan peran dinas atau instansi pemda yang hanya memiliki peran 18,2 persen. Persentase selebihnya merupakan peran swasta dan masyarakat.

Demikian pula dalam hal inisiator program inovatif, peran kepala daerah cukup besar, yaitu mencapai bobot 30,1 persen. Angka tersebut memang berada di bawah bobot mesin birokrasi yang mencapai 48,4 persen. Sedangkan bobot inisiator selebihnya ada pada masyarakat, swasta, dan lembaga pemerintah maupun non pemerintah lainnya. Meski bobot terkait inisiator berada dibawar birokrasi, sebagai institusi yang tergantung personifikasi perorangan, hal itu sangat berarti.

Dengan demikian, dominasi peran yang begitu kuat dalam proses pembuatan kebijakan maupun inisiator program menjadikan kepala daerah sebagai figur sentral penentu kemajuan daerah. Konsekuensi dari kondisi itu menjadikan proses pemilihan kepala daerah sebagai hal penting pula. Karena itu, proses pemilihan secara langsung menjadi instrumen demokrasi yang paling tepat agar hak politik rakyat tidak terbajak.

Patut disayangkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung di sejumlah daerah di Indonesia ini ternyata sangat kurang. Berdasar pantauan JPPR di sejumlah pemilihan kepala daerah sejak 2005, rata-rata angka golput berkisar 45-50 persen. Demikian dikatakan Jerry Sumampaw dalam wawancara dengan Jawa Pos beberapa waktu lalu.

Kenyataan tersebut memperlihat adanya kesenjangan antara pentingnya peran kepala daerah dan kesadaran warga dalam memaknainya. Namun, Jerry menduga bahwa fenomena golput bisa jadi disebabkan kejenuhan rakyat atas konflik pilkada yang banyak muncul di berbagai daerah.

Konflik sebagai Fenomena Wajar

Maraknya konflik pilkada sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar. Hal itu mengingat jumlah pemilihan kepala daerah sama dengan jumlah daerah otonom di Indonesia. Yakni, 33 provinsi, 93 kota, dan 396 kabupaten. Setiap hari, setidaknya ada pemilu kepala daerah di Indonesia yang diadakan.

Setiap kontestan politik tersebut dipastikan menimbulkan konflik. Dengan jumlah pemilihan kepala daerah yang sedemikian banyak, praktis pemberitaan konflik setiap hari muncul di media massa. Negara sendiri sejak awal sudah mengantisipasi hal tersebut dengan memberikan kewenangan terhadap lembaga yudikatif sebagai ruang penyelesaian konflik pemilihan kepala daerah. Kewenangan itu sebelumnya ditangani Mahkamah Agung, belakangan kewenangan ini dialihkan ke Mahkamah Konstitusi.

Selain banyak even pilkada, konflik muncul karena penyelewengan atas pelaksanaan pilkada yang dianggap curang, melanggar, dan tidak fair. Ketidakpuasan biasanya diajukan oleh pihak yang dikalahkan dengan mengadukan penyelenggara pemilu (KPUD) yang memenangkan pesaing yang dinilai tidak jujur. Selebihnya, konflik lebih banyak disebabkan ketidakpuasan pendukung kandidat karena tidak memenangi pertarungan.

Kemenangan oleh para pendukung sendiri seharusnya dimaknai ulang tidak sekadar berhasil merebut kursi kekuasaan. Kemenangan bagi pendukung seharusnya dinyatakan ketika pasangan pemimpin kepala daerah yang mereka dukung sukses menyejahterakan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kemajuan daerah seharusnya dijadikan ukuran final kemenangan dalam pilkada. (mk/e-mail: dadan@jpip.or.id)

Tidak ada komentar: