Senin, 23 Maret 2009

Otonomi Daerah Masih Mendiskriminasi Perempuan

Jakarta, Kompas - Otonomi daerah lebih luas yang diberikan setelah berakhirnya Orde Baru ternyata belum menghasilkan demokrasi yang substantif. Pemantauan Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menemukan 140 kebijakan daerah mendiskriminasi perempuan dan hanya 40 kebijakan yang kondusif untuk pemenuhan hak- hak warga negara.

Laporan Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara- Bangsa dari Komnas Perempuan itu disampaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/3). Ketua MK Mahfud MD memberi sambutan dalam pembukaan diskusi bersama Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandra Kirana.

Menurut Kamala, peluncuran laporan ini di MK merupakan upaya Komnas Perempuan menghapus kekerasan pada perempuan dengan mengajak lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif melakukan perubahan substantif atas peraturan yang mendiskriminasi warga negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas.

Menurut Kamala, dari 152 kebijakan daerah yang diskriminatif, 64 kebijakan merupakan diskriminasi langsung terhadap perempuan berupa pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 peraturan yang mengatur cara berpakaian); pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum dengan mengkriminalisasi perempuan (38 kebijakan pemberantasan prostitusi dan 1 kebijakan tentang khalwat); serta pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (4 peraturan tentang buruh migran).

Sisanya adalah kebijakan diskriminatif karena mengatur tentang agama yang sebetulnya merupakan kewenangan pemerintah pusat dengan akibat pengucilan kelompok minoritas dan pembatas hak warga negara untuk beribadat menurut keyakinan masing-masing.

Tidak punya sistem

Menurut Kamala, perempuan dan kelompok minoritas hanya sarana dari proses pengikisan tatanan negara-bangsa yang mengkhianati konstitusi Indonesia. Yang dipertaruhkan dalam pembiaran atas lahirnya perda-perda tersebut selain hak perempuan dan kelompok minoritas, tetapi juga kewibawaan dan kepastian hukum serta sistem ketatanegaraan Indonesia yang utuh.

Kamala menyoroti khusus pemberlakuan peraturan daerah di Aceh (qanun), yang bertentangan dengan hukum nasional.

Tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, Mahfud mengatakan, pilihan tersebut adalah pilihan politik yang harus memilih dari pilihan yang ada pada tahun 2006 dalam perjanjian yang didukung dunia internasional.

Mahfud juga mengatakan, pembatalan kebijakan daerah mekanismenya melalui Peraturan Presiden dengan batas waktu 60 hari sejak diterbitkan. Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat memerintahkan menteri di bawahnya untuk mengawasi hal ini. ”Masalahnya tidak ada yang memerhatikan isu seperti isu perempuan, yang diperhatikan hanya soal retribusi, pajak,” kata Mahfud.

Menanggapi hasil pemantauan yang disampaikan Andi Yentriani dari Komnas Perempuan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida dalam diskusi mengatakan, pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme pemantauan terhadap pembuatan dan pelaksanaan perda yang seharusnya menjadi tugas Depdagri.

Sayangnya dua pembicara lain, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Marina Sidabutar dan Wakil Ketua Komnas HAM Hesti A Wulan, tidak membicarakan terobosan hukum secara substantif yang dapat dilakukan dua lembaga tersebut dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. (NMP/NAL)