Senin, 17 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas

KOMPAS cetak - Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas: "Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas"

KOMPAS cetak - Kabar Buruk dari Otonomi Daerah

KOMPAS cetak - Kabar Buruk dari Otonomi Daerah: "Kabar Buruk dari Otonomi Daerah"

[[ batik indonesia info ]] » 2003 » April

[[ batik indonesia info ]] » 2003 » April: "Kain Tradisional: Yang Beragam dan Terancam Punah"

Republic Megono

Republic Megono: "Antara Kang Jasir dan Mas Jaman"

Republic Megono

Republic Megono: "Pansus setujui renovasi Pasar Kajen"

Republic Megono: November 2007

Republic Megono: November 2007: "Dari Pekajangan, Batik Pekalongan Berbicara"

Republic Megono: November 2007

Republic Megono: November 2007: "Pasar Tradisional Bergaya Modern
SUDAH BERSIH, BELANJA APA PUN TERSEDIA
Pasar Kajen Kudu Niru Pasar Sing Koyo Kiye"

Minggu, 16 Agustus 2009

Jumat, 14 Agustus 2009

Selasa, 11 Agustus 2009

UANG NEGARA


Rp 600 Triliun di Daerah Berbahaya

Rabu, 12 Agustus 2009 | 04:35 WIB

Jakarta, Kompas - Pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah mengarah pada kondisi yang membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Padahal, sekitar 60 persen atau Rp 600 triliun dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disalurkan ke daerah.

Pengelolaan yang membahayakan ini karena laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapat opini terburuk dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin bertambah. Sebaliknya, jumlah LKPD dengan opini terbaik dari BPK terus merosot.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Selasa (11/8), saat berbicara dalam Rapat Kerja Nasional Akuntansi Tahun 2009.

Perkembangan yang membahayakan itu terlihat dari hasil audit BPK atas LKPD tahun 2004 dan dibandingkan dengan tahun 2007 serta 2008. Jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) justru menurun dari 21 daerah pada tahun 2004 menjadi 8 daerah tahun 2008. WTP merupakan opini terbaik dari BPK.

Adapun jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian juga turun dari 249 daerah tahun 2004 menjadi 137 daerah tahun 2008. Opini ini setingkat lebih rendah dari opini WTP.

Akan tetapi, LKPD yang mendapatkan opini tak memberikan pendapat (disclaimer) justru naik dari 7 daerah tahun 2004 menjadi 120 daerah tahun 2007. Opini BPK ini menunjukkan banyaknya masalah pada LKPD.

”Lebih buruk lagi, LKPD yang mendapatkan opini adverse atau tidak wajar malah naik dari 10 daerah tahun 2004 menjadi 59 daerah tahun 2007. Kecenderungan berbahaya. Memperlihatkan sikap pemerintah daerah yang tak memberi perhatian pada pengelolaan keuangan negara yang baik,” ungkap Sri Mulyani.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, kondisi LKPD sangat mengkhawatirkan karena buruknya laporan keuangan bisa memengaruhi persepsi calon investor yang berniat menanamkan modal di daerah tersebut. Apalagi pemerintah daerah sudah diperkenankan menerbitkan obligasi untuk menambah sumber pembiayaan APBD mereka.

”Bagaimana obligasi kalian (pemerintah daerah) itu bisa ada yang beli kalau laporan keuangannya tidak beres?” ujarnya.

Kondisi itu mengkhawatirkan karena dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN, sekitar 60 persennya dialirkan ke daerah. Sebagai contoh, dari total anggaran belanja negara pada APBN Perubahan 2009 senilai Rp 1.005,7 triliun, sebesar 60,2 persen mengalir ke daerah melalui berbagai saluran.

Pertama, lewat program nasional (bantuan langsung tunai, Program Nasional Masyarakat Mandiri) Rp 35 triliun. Kedua, lewat anggaran pemerintah pusat (subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk) Rp 140 triliun.

Ketiga, melalui anggaran transfer ke daerah (seperti dana alokasi umum dan dana bagi hasil) Rp 309,6 triliun. Keempat, lewat program kementerian dan lembaga nondepartemen (antara lain dana dekonsentrasi, tugas pembantuan) Rp 120,6 triliun.

Turunkan kepercayaan

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, buruknya hasil audit atas LKPD tersebut bisa menurunkan kepercayaan diri pemerintah daerah atas kemampuannya mengelola keuangan. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya keengganan, bahkan ketakutan, menggunakan keuangan daerah yang berimplikasi pada turunnya penyerapan anggaran.

Transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah pun bisa terhambat. Contohnya, transfer dana alokasi khusus (DAK) tidak akan dilakukan sebelum penggunaan DAK periode sebelumnya dilaporkan atau tak dipakai.

Pada akhirnya, kualitas program yang dirancang pemerintah daerah akan kian rendah. Atas dasar itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah memperkuat sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Misalnya, diawali dengan evaluasi atas pelatihan keuangan daerah yang sudah menghasilkan lulusan tenaga pembukuan.

”Misalnya, apakah keterampilan yang diperoleh para lulusan itu bisa diimplementasikan. Sebab, rotasi jabatan sering kali pada rentang waktu yang pendek sehingga belum ada transfer pengetahuan dan keterampilan. Lalu, perlu ada penguatan peran aparat pengawasan daerah (Bawasda). Adapun pemerintah pusat perlu memberikan bantuan pelatihan,” ujar Agung.

Pengamat otonomi daerah dari Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, menegaskan, buruknya LKPD sangat mengkhawatirkan karena tata kelola keuangan menjadi semakin buruk. Itu pun tidak konsisten dengan semangat pemilihan kepala daerah langsung yang mengedepankan tata kelola keuangan yang baik.

Pemerintah pusat harus menyiapkan mekanisme sanksi, yakni dengan mengurangi atau menahan DAK hingga daftar isian pelaksanaan anggaran. ”Selain itu, pemerintah jangan segan-segan mengumumkan daerah-daerah yang tidak berprestasi itu,” ujarnya. (OIN)

Sabtu, 08 Agustus 2009

HIBAH Aset Menganggur Diserahkan kepada Daerah


Sabtu, 8 Agustus 2009 | 05:25 WIB

Jakarta, Kompas - Aset-aset negara yang tidak terpakai akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini untuk mencegah kerusakan aset dan pemanfaatannya maksimal.

Daerah yang pertama kali mendapatkan hibah aset fisik adalah Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berupa tiga turbin gas eks PT Pertamina (Persero) plus aset tanah senilai Rp 71,785 miliar. Fasilitas ini dapat memenuhi 40 persen kebutuhan listrik di daerah itu.

”Ini penyerahan hibah fisik aset negara pada daerah yang pertama. Kami sudah meminta kementerian dan lembaga nondepartemen menginventarisasi aset-aset menganggur di lembaganya. Mereka melaporkan tidak ada yang menganggur. Namun, hasil penelusuran kami menunjukkan ada aset yang tak terpakai,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan, Hadiyanto di Jakarta, Jumat (7/8).

Ia menjelaskan, aset yang digolongkan menganggur adalah jika dalam empat tahun berturut- turut tidak dimanfaatkan lembaga yang bertanggung jawab mengelolanya. Aset-aset itu wajib dikembalikan ke negara dan pemanfaatannya diarahkan ke lembaga lain.

”Aset di pemerintah daerah yang tidak dipakai dalam empat tahun juga wajib dikembalikan kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, sesuai kontrak hibah pada tiga turbin gas itu, jika dalam empat tahun tidak dimanfaatkan, harus dikembalikan kepada pemerintah pusat,” ujar Hadiyanto.

Selain tiga turbin, pemerintah pusat juga memberikan tanah seluas 6,64 hektar yang merupakan lokasi ketiga turbin gas tersebut kepada Pemprov NAD. Nilai ketiga turbin itu Rp 65,67 miliar, sedangkan nilai tanah Rp 6,115 miliar.

Kebutuhan listrik

Menurut Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, tiga turbin yang dihibahkan itu dapat memenuhi kebutuhan listrik 40 MW dari 100 MW kebutuhan listrik di Aceh.

Kekurangan daya 60 MW masih dipasok dari Sumatera Utara. Padahal, Sumut juga masih kekurangan pasokan listrik.

”Kami sangat berharap ada tiga proyek pembangkit listrik yang bisa segera dimulai tahun 2010, yakni pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 200 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi 60 MW, dan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 200 MW,” kata dia.

Ketiga turbin gas yang dihibahkan pemerintah pusat itu pengelolaannya akan diserahkan kepada PT Bumi Terang Nanggroe Aceh, perusahaan swasta yang ditunjuk Pemprov NAD.

Awalnya, ketiga turbin gas itu dipakai untuk memasok listrik pabrik pengolahan LPG anak perusahaan Pertamina, yakni PT Arun NGL. Namun, sejak tahun 2000, ketiga turbin itu tak dipakai lagi seiring berhentinya produksi LPG.

”Sejak tsunami (26 Desember 2004), banyak aset pemerintah pusat yang tidak terpakai, antara lain 12 lapangan udara,” kata Irwandi. (OIN)

PAJAK Ongkos Parkir Bakal Naik


Sabtu, 8 Agustus 2009 | 04:02 WIB

Jakarta, Kompas - Ongkos parkir bakal lebih mahal karena mulai 1 Januari 2010 tarif pajak parkir naik, yaitu dari maksimal 20 persen menjadi maksimal 30 persen. Besaran kenaikan tarif pajak parkir itu bergantung pada keputusan pemerintah kabupaten atau kota.

”Selain menaikkan tarif pajak parkir, kami juga mempertegas pembagian retribusi parkir yang bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah di tingkat kabupaten atau kota,” ujar Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) Harry Azhar Azis di Jakarta, Jumat (7/8).

Dijelaskan, untuk menambah ketertiban perparkiran, aturan pajak parkir dibedakan dengan retribusi parkir.

Pajak parkir dipungut di lokasi tertentu, misalnya perkantoran atau gedung, yang dikelola badan usaha tertentu.

Adapun retribusi parkir dikelola oleh pemerintah kabupaten atau kota, yaitu untuk lahan-lahan parkir kendaraan bermotor yang ada di pinggir jalan umum, yang selama ini sering kali dikelola oleh orang tertentu.

Dalam RUU PDRD disebutkan, obyek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, yang disediakan sebagai tempat usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan.

Bukan obyek pajak

Ada empat kelompok tempat parkir yang tidak tergolong obyek pajak. Pertama, tempat parkir yang disediakan pemerintah dan pemerintah daerah.

Kedua, tempat parkir di perkantoran khusus untuk karyawan kantor itu. Ketiga, tempat parkir di kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik. Keempat, tempat parkir lain yang ditetapkan peraturan daerah.

Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Hariyadi Sukamdani, kenaikan tarif pajak parkir makin membuka peluang terjadinya penyimpangan.

Peluang kenaikan tarif pajak parkir hingga maksimal 30 persen, ujar Hatiyadi, semestinya dibarengi dengan pembenahan sistem manajemen keuangan.

”Kalau tidak, itu artinya pemerintah pusat membiarkan korupsi merajalela. Penerimaan pajak dari bisnis perparkiran semestinya diaudit ketat,” ujarnya.

Kebijakan perparkiran selama ini terkesan angin-anginan. Di Jakarta, misalnya, belum lama ini dilakukan penguncian roda kendaraan bagi pengemudi yang tidak mematuhi aturan parkir di jalan. Namun, kebijakan ini hilang dalam sekejap.

”Kenaikan pajak parkir semestinya dibarengi sikap bertanggung jawab pengelola perparkiran, apabila kendaraan yang diparkir dibongkar maling,” demikian dikatakan Hariyadi Sukamdani. (OIN/OSA)

Kamis, 06 Agustus 2009

Pajak Daerah Dibatasi


Rabu, 5 Agustus 2009 | 04:11 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah daerah tidak lagi leluasa menciptakan pajak dan retribusi baru yang merusak iklim investasi. Mulai 1 Januari 2010, setiap pungutan harus mengacu daftar tertutup dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

”Sistem yang ditetapkan bersifat daftar tertutup, artinya daerah hanya diperbolehkan memungut pajak dan retribusi sesuai undang-undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah, mencari, atau berkreasi yang tidak baik dalam arti mencari-cari penghasilan asli daerah,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (4/8).

Menkeu menyampaikan hal itu dalam Rapat Kerja dengan Panitia Khusus RUU PDRD yang mengagendakan pandangan fraksi mini atas RUU tersebut.

Seluruh fraksi yang ada di DPR menyetujui agar RUU yang sudah dibahas sejak Maret 2006 itu disahkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR.

Dalam RUU PDRD tersebut disebutkan lima jenis pajak yang diperbolehkan di level provinsi adalah pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok. Pajak rokok adalah pungutan baru yang disetujui seluruh fraksi.

Adapun sebelas jenis pajak untuk kabupaten dan kota adalah pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, dan pajak mineral bukan logam serta batuan.

Selain itu, pajak parkir, air tanah, sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Semula PBB dan BPHTB berada di bawah pemerintah pusat.

Dampak negatif

Menurut Sri Mulyani, dengan adanya tambahan jenis pajak tersebut, kekuatan daerah yang menghimpun penerimaan pajak menjadi semakin besar.

Meskipun demikian, penambahan jenis pajak dan retribusi ini bisa berdampak negatif bagi perekonomian daerah apabila tidak ada pengawasan yang efektif, terutama dari pemerintah pusat.

”Atas dasar itu, saya bersama Menteri Dalam Negeri akan membuat mekanisme pengawasan yang lebih efisien, baik dalam kecepatan maupun sosialisasi pada daerah,” ujarnya.

Pengawasan yang dilakukan Departemen Keuangan dan Depdagri saat ini dilakukan dengan mengevaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah lama.

Ranperda dan perda berisi pungutan yang mengganggu iklim investasi akan direkomendasikan untuk dicabut. Mekanisme ini akan dipertahankan setelah RUU PDRD disahkan menjadi UU.

Juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nursanita Nasution, mengatakan, kewenangan daerah atas perpajakan harus diikuti peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa mengatakan, munculnya pajak daerah akan menambah jumlah pungutan di daerah. ”Ini akan membuat tahun 2010 semakin marak dengan pajak,” ujarnya. (OIN)

Senin, 23 Maret 2009

Otonomi Daerah Masih Mendiskriminasi Perempuan

Jakarta, Kompas - Otonomi daerah lebih luas yang diberikan setelah berakhirnya Orde Baru ternyata belum menghasilkan demokrasi yang substantif. Pemantauan Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menemukan 140 kebijakan daerah mendiskriminasi perempuan dan hanya 40 kebijakan yang kondusif untuk pemenuhan hak- hak warga negara.

Laporan Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara- Bangsa dari Komnas Perempuan itu disampaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/3). Ketua MK Mahfud MD memberi sambutan dalam pembukaan diskusi bersama Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandra Kirana.

Menurut Kamala, peluncuran laporan ini di MK merupakan upaya Komnas Perempuan menghapus kekerasan pada perempuan dengan mengajak lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif melakukan perubahan substantif atas peraturan yang mendiskriminasi warga negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas.

Menurut Kamala, dari 152 kebijakan daerah yang diskriminatif, 64 kebijakan merupakan diskriminasi langsung terhadap perempuan berupa pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 peraturan yang mengatur cara berpakaian); pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum dengan mengkriminalisasi perempuan (38 kebijakan pemberantasan prostitusi dan 1 kebijakan tentang khalwat); serta pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (4 peraturan tentang buruh migran).

Sisanya adalah kebijakan diskriminatif karena mengatur tentang agama yang sebetulnya merupakan kewenangan pemerintah pusat dengan akibat pengucilan kelompok minoritas dan pembatas hak warga negara untuk beribadat menurut keyakinan masing-masing.

Tidak punya sistem

Menurut Kamala, perempuan dan kelompok minoritas hanya sarana dari proses pengikisan tatanan negara-bangsa yang mengkhianati konstitusi Indonesia. Yang dipertaruhkan dalam pembiaran atas lahirnya perda-perda tersebut selain hak perempuan dan kelompok minoritas, tetapi juga kewibawaan dan kepastian hukum serta sistem ketatanegaraan Indonesia yang utuh.

Kamala menyoroti khusus pemberlakuan peraturan daerah di Aceh (qanun), yang bertentangan dengan hukum nasional.

Tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, Mahfud mengatakan, pilihan tersebut adalah pilihan politik yang harus memilih dari pilihan yang ada pada tahun 2006 dalam perjanjian yang didukung dunia internasional.

Mahfud juga mengatakan, pembatalan kebijakan daerah mekanismenya melalui Peraturan Presiden dengan batas waktu 60 hari sejak diterbitkan. Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat memerintahkan menteri di bawahnya untuk mengawasi hal ini. ”Masalahnya tidak ada yang memerhatikan isu seperti isu perempuan, yang diperhatikan hanya soal retribusi, pajak,” kata Mahfud.

Menanggapi hasil pemantauan yang disampaikan Andi Yentriani dari Komnas Perempuan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida dalam diskusi mengatakan, pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme pemantauan terhadap pembuatan dan pelaksanaan perda yang seharusnya menjadi tugas Depdagri.

Sayangnya dua pembicara lain, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Marina Sidabutar dan Wakil Ketua Komnas HAM Hesti A Wulan, tidak membicarakan terobosan hukum secara substantif yang dapat dilakukan dua lembaga tersebut dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. (NMP/NAL)

Rabu, 18 Februari 2009

Jeda Pemekaran Harus Dilakukan

85 Persen Pemekaran Tidak Berdampak Positif
Selasa, 17 Februari 2009 | 23:50 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah dan semua pihak yang terlibat diminta segera menerapkan kebijakan jeda atau penghentian sementara pemekaran wilayah di sejumlah daerah dalam kurun waktu tertentu untuk melakukan evaluasi total.

Selain melakukan evaluasi, juga sekaligus mengadakan penetapan rancangan induk (grand design) soal tata ruang pemekaran di daerah-daerah.

Dengan demikian, pada masa mendatang tidak perlu lagi terjadi pemekaran daerah yang justru tidak tepat sasaran dan secara ekonomi malah merugikan dan memiskinkan daerah bersangkutan, apalagi jika daerah tersebut sekadar mengandalkan pendapatan dari Dana Alokasi Umum.

Kesimpulan tersebut muncul dalam diskusi bertema ”Moratorium Pemekaran Daerah”, Selasa (17/2), yang digelar di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Hadir sebagai pembicara adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, guru besar Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, anggota DPR dari Partai Golkar, Idrus Marham, dan Mardiyono dari Persatuan Wartawan Indonesia.

Menurut Bambang, daerah hasil pemekaran yang ingin dibentuk sebaiknya terlebih dahulu harus mengajukan bukan sekadar naskah akademis, melainkan juga studi kelayakan ekonomi dan finansial, yang dibuat oleh lembaga pengkajian yang punya kredibilitas dan telah distandardisasi sesuai dengan ketetapan pemerintah pusat.

Idrus Marham memaparkan bahwa masa jeda baru selesai sampai ada rancangan induk tentang tata ruang pemekaran Indonesia. Dengan demikian, nantinya tidak perlu lagi ada persaingan atau mobilisasi untuk mengadakan pemekaran wilayah,” ujar Idrus.

Idrus mengakui bahwa selama ini pemekaran yang berlangsung di DPR kental dengan kepentingan politik praktis. Hal itu tecermin dari berbagai rekayasa dan cara-cara mobilisasi massa yang muncul di daerah-daerah tertentu yang mencoba memekarkan diri.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono mengatakan, 85 persen pemekaran wilayah tidak berdampak positif pada pelayanan publik dan peningkatan kehidupan masyarakat. Sebagian besar sumber pendapatan daerah otonom baru juga berasal dari dana perimbangan. Oleh karena itu, diperlukan moratorium pemekaran wilayah.

Aturan disempurnakan

Mardiyanto dalam diskusi mengatakan, saat ini sudah ada penyempurnaan peraturan mengenai pemekaran wilayah. Seusai diskusi, Mendagri menegaskan bahwa pemerintah kini sedang menyelesaikan rancangan induk daerah otonom sekaligus tahapan sehingga jumlah daerah otonom ideal di Indonesia tercapai. Rancangan induk ditargetkan rampung sebelum masa jabatan pemerintah berakhir tahun 2009 ini.

Di Padang, Sumatera Barat, pakar hukum tata negara, Saldi Isra, menilai pemerintah pusat punya tanggung jawab penuh atas pemekaran yang telah dilakukan. Tanggung jawab juga diperlukan untuk mengevaluasi seluruh perjalanan daerah hasil pemekaran. (INA/ART/DWA)

Selasa, 17 Februari 2009

Pemekaran Lebih Didasari Kepentingan Elite Politik

Jakarta, Kompas - Terjadinya konflik dalam pemekaran sebuah wilayah diduga lebih banyak disebabkan oleh pertarungan kepentingan elite politik daripada kepentingan rakyat. Bahkan, mereka pula yang diduga memfasilitasi terjadinya tindakan anarkis untuk mencapai ambisi politik.

Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Oslan Purba, Senin (16/2) di Jakarta.

Pernah terjadi

Kekerasan yang terjadi mengiringi unjuk rasa pembentukan Provinsi Tapanuli pada 3 Februari lalu menjadi contohnya. Oslan mengatakan, seharusnya kejadian tersebut dapat diantisipasi, apalagi kejadian nyaris serupa juga pernah terjadi sebelumnya.

Dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Imparsial itu, dikemukakan pula bahwa anarkisme yang menyebabkan korban jiwa tersebut juga harus dihentikan. Selain mencoreng wajah demokrasi Indonesia, anarkisme juga menjadi ancaman bagi proses demokratisasi.

Konflik kepentingan

Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian berpendapat bahwa sumber-sumber konflik dalam pemekaran itu lebih disebabkan oleh semakin mengerasnya konflik kepentingan. Pemekaran di Indonesia, menurutnya, sebagian besar didasari oleh kepentingan dan ambisi politik kekuasaan serta ekonomi.

”Bukan didasari oleh kepentingan untuk menyejahterakan rakyat atau memperkuat otonomi,” kata Ichsan.

Menurutnya, kondisi seperti itu harus diwaspadai. Rusdi Marpaung dari Imparsial berpendapat bahwa lemahnya kerja intelijen turut berpengaruh. Menurutnya, berbagai kejadian selayaknya tidak lepas dari pemantauan kerja intelijen.

Untuk itu, mereka mengimbau agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Selain itu, mereka juga mengimbau agar calon anggota legislatif tidak menggunakan cara kekerasan dalam berpolitik.

Jajaran aparat keamanan pun diharapkan mampu bekerja dengan lebih profesional dan peka melihat kondisi emosional masyarakat. (JOS)

Stop Pemekaran

Wahyudi Kumorotomo

Setelah isu kebijakan pemekaran daerah memakan korban meninggalnya Ketua DPRD Sumut, wacana yang berkembang adalah menstop pemekaran.

Bisakah ini dilakukan melihat masih banyaknya tuntutan dari daerah?

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah berkali- kali menyerukan moratorium pemekaran. Juga sudah ada PP Nomor 78 Tahun 2007 menggantikan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang dianggap kurang ampuh mencegah tuntutan pemekaran.

Namun, pemecahan wilayah administratif terus berlanjut. Indonesia kini terbagi dalam 33 provinsi dan 491 kabupaten. Daerah amat banyak, sulit dikendalikan secara administratif, sedangkan pelayanan publik justru menurun.

Dalam hal penduduk, provinsi terkecil hanya dihuni kurang dari 800.000 jiwa (Gorontalo), yang terbesar dihuni 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk kabupaten/kota, jumlahnya antara 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori) dan 4,1 juta jiwa (Kota Bandung).

Secara teoretis, pemekaran sebenarnya merupakan akibat logis desentralisasi. Masalahnya, pemekaran di Indonesia kini sudah kurang rasional dan landasan argumentasinya lemah (Ferrazzi, 2008). Pemekaran tidak lagi mengedepankan tujuan desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, menciptakan pemerintah daerah yang responsif, dan meningkatkan kemakmuran di daerah.

Usul pemekaran biasanya karena faktor sejarah, adat, bahasa, etnis, atau merasa tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitar. Lalu elite politik, calon bupati, atau anggota DPRD mendorong usul itu dengan menebar janji. Pemekaran juga didorong jajaran pemda karena peluang jabatan baru. Mereka mendapat manfaat dari kenaikan eselon atau adanya proyek gedung baru.

Sebuah kabupaten pemekaran di Maluku didapati tim anggaran berada dalam posisi sulit karena proyek-proyek gedung sudah seizin dinas pekerjaan umum dan bupati baru untuk dikerjakan sebelum APBD disahkan. Jika pemda tak ingin malu karena utangnya kepada rekanan tidak terbayar, tim harus menyetujui alokasi dana untuk proyek itu.

Ketika muncul usulan pemekaran daerah, elite politik di pusat cenderung menyetujui tanpa pertimbangan matang. Dari 17 paket RUU pembentukan yang diusulkan DPR tahun lalu, sebenarnya hanya tiga yang layak (Kompas, 23/12/2008). Berbeda dengan RUU Antipornografi atau RUU Badan Hukum Pendidikan terkait pendidikan tinggi yang disorot media dan LSM, pembahasan RUU pemekaran hampir selalu mulus. Dapat ditambahkan, uang sidang dan honor bagi anggota DPR untuk membahas semua RUU itu tetap sama.

Instrumen disinsentif

Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, tidak ada kata lain kecuali menghentikannya. Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam Negeri, dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat daerah, bukan segelintir elite politik.

Syarat-syarat yang disebutkan PP No 78/2007 sebenarnya sudah ketat. Daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus punya 5 kabupaten/kota, kabupaten punya 5 kecamatan, dan kota punya 4 kecamatan. Usulan mesti didukung dua pertiga dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Sebaliknya, peraturan ini mendorong penggabungan daerah jika terjadi penurunan kualitas pelayanan. Maka, kini tinggal niat pemerintah untuk menegakkan peraturan ini. Syarat minimum jumlah penduduk harus dipertimbangkan bagi setiap usulan pemekaran yang masuk DPOD. Yang jauh lebih penting adalah agar anggota DPR jangan justru ikut menyiasati atau menerobos aturan yang telah disepakati.

Instrumen lain yang cukup mudah adalah dana perimbangan. Selama ini, DAU selalu diberikan dengan proporsi berdasarkan status administratif. Selain tidak bisa mengatasi kesenjangan horizontal antardaerah, alokasi semacam ini akan terus mendorong pemekaran. Jika DAU diberikan secara netral, daerah pemekaran akan mendapat jumlah dana yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat dan elite lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri.

Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. Sebaliknya, warga perlu didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, seperti tingkat kemakmuran yang merata dan pelayanan publik yang efisien. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dimobilisasi elite politik daerah untuk aneka kepentingan sempit. Inilah pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.

Wahyudi Kumorotomo Dosen Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM

Minggu, 15 Februari 2009

Jurnal Republik Pemalang, 1945


by : Taufik Rahzen

Pemalang, kota yang berada di jalur utama pantai utara Jawa (Pantura), mengalami sejumlah fase sejarah yang menarik. Dari mulai hanya berstatus sebagai tanah perdikan pada masa Mataram, Pemalang juga mengalami undakan sejarah yang membara menyusul radikalisasi massa yang memakan tulah tak sedikit.

Letak geografis Pemalang sendiri unik. Jika ditarik garis dari utara ke selatan, tekstur geografis Pemalang berbentuk kurva yang makin lama makin naik. Di sebelah utara terdapat deretan pantai Laut Jawa dan di sebelah selatan menjulang dataran tinggi yang puncaknya berada di Gunung Slamet.

Jauh sebelum Pemalang menjadi tanah perdikan Mataram, kawasan ini sudah dihuni oleh masyarakat yang cukup teroganisir. Benda-benda arkeologis seperti punden berundak dan pemandian di Kecamatan Moga hingga patung Ganesa, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak menegaskan hal itu.

Kemunculan Pemalang dalam peta geopolitik di tlatah Jawa mulai terlacak ‘“setidaknya‘”sejak abad 17. Catatan yang ditinggalkan Rijklof Van Goens memberi petunjuk mengenai Pemalang. Di sana disebutkan bahwa bersama 14 daerah lainnya, Pemalang merupakan salah satu daerah yang tak tersentuh oleh dinasti politik mana pun di Jawa.

Pemalang mulai masuk dalam konstelasi geopolitik tlatah Jawa setelah pendiri dinasti Mataram, Penambahan Senopati, berhasil menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya merdeka itu, termasuk Pemalang. Semenjak itulah Pemalang menjadi tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang pangeran atau kerabat Sultan. Orang yang ditunjuk memerintah tanah perdikan itu tidak menetap di tanah yang dipimpinnya, tetapi tetap tinggal di Kraton.

Struktur pemerintahan di Pemalang mulai menemukan bentuknya yang rapi semenjak kepemimpinan Raden Mangoneng atau Pangoneng sekira tahun 1622. Ketika itu Pangeran Purbaya ditunjuk oleh Mataram sebagai penguasa di Pemalang, kendati yang bersangkutan tetap tinggal di lingkungan kraton Mataram. Mangoneng dianggap sebagai salah satu tokoh yang paling sengit menentang VOC dan secara aktif membantuk proyek Sultan Agung menyerbu VOC di pusatnya sendiri: Batavia.

Fase ini mewariskan satu tradisi berupa seni bela diri “Krangkeng”. Seni bela diri ini muncul semenjak Pemalang terlibat dalam penyerangan Batavia pada masa Sultan Agung. Untuk keperluan itulah para pemuda banyak dilatih olah kanuragan yang biasa disertai tetabuhan. Dari sinilah Krangkeng muncul dan masih bertahan hingga sekarang.

Reputasi subversif pemimpin Pemalang yang sudah dirintis oleh Pangoneng diteruskan oleh Adipati Reksadiningrat yang memerintah hingga 1825, tahun dimulainya Perang Jawa. Ada kemungkinan Reksadiningrat diberhentikan dari jabatan Adipati (Bupati) karena keterlibatannya dengan Pangeran Diponegoro.

Usai Perang Jawa, Pemalang justru mencapai puncak keemasannya sebagai penghasil tanaman budi daya seperti padi, kopi, tembakau dan kacang. Pemalang, yang ketika itu berstatus sebagai kabupaten di bawah Karesidenan Pekalongan, mengalami kemakmuran yang melimpah ruah, terutama pada masa pemerintahan Bupati Sumo Negoro yang memerintah sejak 1832.

Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai pada Oktober 1945, Pemalang bersama Brebes dan Tegal (yang berada di wilayah Karesidenan Pekalongan) diguncang gerakan massa yang menggulingkan pemimpin-pemimpin administratif yang ditunjuk oleh Jakarta.

Massa radikal itu menolak kepemimpinan orang-orang yang dulu dianggap banyak bekerjasama dengan Belanda dan kemudian Jepang. Radikalisasi massa ini mulai mengalami kemunduran sejak akhir Desember 1945 setelah Jakarta mengirim TKR untuk mengatasi dan menangkap para pemimpin dari gerakan massa ini.

Selama proses sejarah yang panjang ini, pusat pemerintahan Pemalang berpindah sebanyak tiga kali. Pusat pemerintahan Pemalang yang pertaa berada di Desa Oneng. Selanjutnya berpindah ke daerah Ketandan. Pusat pemerintahan yang ketiga berada di sekitar alun-alun Pemalang sekarang.