Minggu, 15 Februari 2009

Jurnal Republik Pemalang, 1945


by : Taufik Rahzen

Pemalang, kota yang berada di jalur utama pantai utara Jawa (Pantura), mengalami sejumlah fase sejarah yang menarik. Dari mulai hanya berstatus sebagai tanah perdikan pada masa Mataram, Pemalang juga mengalami undakan sejarah yang membara menyusul radikalisasi massa yang memakan tulah tak sedikit.

Letak geografis Pemalang sendiri unik. Jika ditarik garis dari utara ke selatan, tekstur geografis Pemalang berbentuk kurva yang makin lama makin naik. Di sebelah utara terdapat deretan pantai Laut Jawa dan di sebelah selatan menjulang dataran tinggi yang puncaknya berada di Gunung Slamet.

Jauh sebelum Pemalang menjadi tanah perdikan Mataram, kawasan ini sudah dihuni oleh masyarakat yang cukup teroganisir. Benda-benda arkeologis seperti punden berundak dan pemandian di Kecamatan Moga hingga patung Ganesa, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak menegaskan hal itu.

Kemunculan Pemalang dalam peta geopolitik di tlatah Jawa mulai terlacak ‘“setidaknya‘”sejak abad 17. Catatan yang ditinggalkan Rijklof Van Goens memberi petunjuk mengenai Pemalang. Di sana disebutkan bahwa bersama 14 daerah lainnya, Pemalang merupakan salah satu daerah yang tak tersentuh oleh dinasti politik mana pun di Jawa.

Pemalang mulai masuk dalam konstelasi geopolitik tlatah Jawa setelah pendiri dinasti Mataram, Penambahan Senopati, berhasil menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya merdeka itu, termasuk Pemalang. Semenjak itulah Pemalang menjadi tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang pangeran atau kerabat Sultan. Orang yang ditunjuk memerintah tanah perdikan itu tidak menetap di tanah yang dipimpinnya, tetapi tetap tinggal di Kraton.

Struktur pemerintahan di Pemalang mulai menemukan bentuknya yang rapi semenjak kepemimpinan Raden Mangoneng atau Pangoneng sekira tahun 1622. Ketika itu Pangeran Purbaya ditunjuk oleh Mataram sebagai penguasa di Pemalang, kendati yang bersangkutan tetap tinggal di lingkungan kraton Mataram. Mangoneng dianggap sebagai salah satu tokoh yang paling sengit menentang VOC dan secara aktif membantuk proyek Sultan Agung menyerbu VOC di pusatnya sendiri: Batavia.

Fase ini mewariskan satu tradisi berupa seni bela diri “Krangkeng”. Seni bela diri ini muncul semenjak Pemalang terlibat dalam penyerangan Batavia pada masa Sultan Agung. Untuk keperluan itulah para pemuda banyak dilatih olah kanuragan yang biasa disertai tetabuhan. Dari sinilah Krangkeng muncul dan masih bertahan hingga sekarang.

Reputasi subversif pemimpin Pemalang yang sudah dirintis oleh Pangoneng diteruskan oleh Adipati Reksadiningrat yang memerintah hingga 1825, tahun dimulainya Perang Jawa. Ada kemungkinan Reksadiningrat diberhentikan dari jabatan Adipati (Bupati) karena keterlibatannya dengan Pangeran Diponegoro.

Usai Perang Jawa, Pemalang justru mencapai puncak keemasannya sebagai penghasil tanaman budi daya seperti padi, kopi, tembakau dan kacang. Pemalang, yang ketika itu berstatus sebagai kabupaten di bawah Karesidenan Pekalongan, mengalami kemakmuran yang melimpah ruah, terutama pada masa pemerintahan Bupati Sumo Negoro yang memerintah sejak 1832.

Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai pada Oktober 1945, Pemalang bersama Brebes dan Tegal (yang berada di wilayah Karesidenan Pekalongan) diguncang gerakan massa yang menggulingkan pemimpin-pemimpin administratif yang ditunjuk oleh Jakarta.

Massa radikal itu menolak kepemimpinan orang-orang yang dulu dianggap banyak bekerjasama dengan Belanda dan kemudian Jepang. Radikalisasi massa ini mulai mengalami kemunduran sejak akhir Desember 1945 setelah Jakarta mengirim TKR untuk mengatasi dan menangkap para pemimpin dari gerakan massa ini.

Selama proses sejarah yang panjang ini, pusat pemerintahan Pemalang berpindah sebanyak tiga kali. Pusat pemerintahan Pemalang yang pertaa berada di Desa Oneng. Selanjutnya berpindah ke daerah Ketandan. Pusat pemerintahan yang ketiga berada di sekitar alun-alun Pemalang sekarang.

Tidak ada komentar: