Kamis, 25 Desember 2008

Otonomi Daerah


Pemekaran Lagi, Lagi, dan Lagi...
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:27 WIB

Buku pelajaran sekolah harus kerap direvisi jika mencantumkan jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sampai dengan pertengahan Desember ini, Indonesia saat ini terdiri atas 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota.

Jumlah itu belum termasuk dengan 5 kota dan 1 kabupaten administratif di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Namun, siapa bisa menjamin jumlah itu akan bertahan lama?

Faktanya, pemekaran amat marak terjadi pasca-era reformasi. Sejak tahun 2007 saja ada penambahan 57 kabupaten/kota. Yang terbaru, dua kabupaten baru disepakati lagi dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (19/12), menyambung persetujuan 12 daerah otonom baru pada 29 Oktober 2008.

Tak ayal, selepas rapat paripurna, seorang anggota Komisi II DPR hanya bisa geleng-geleng kepala. Pasalnya, jika mau tegas-keras-kaku sesuai dengan aturan baku, bisa jadi hanya dua daerah otonom yang lolos pada gelombang-pemekaran kali ini.

Sebenarnya, ”paket” RUU yang dibahas Komisi II DPR bersama pemerintah dalam dua masa persidangan terakhir sebanyak 17 RUU; dengan rincian, 2 RUU pembentukan kabupaten yang belum selesai dibahas sebelumnya, 14 RUU pembentukan kabupaten/kota, dan 1 RUU pembentukan provinsi baru.

Dalam dua masa persidangan DPR terakhir, penentuan calon daerah baru diputuskan lewat lobi. Proses politik akhirnya lebih menentukan ketimbang kelayakan teknis dengan serangkaian parameter.

Terjadi tarik ulur menyangkut nasib sejumlah calon daerah baru sehingga akhirnya persetujuan mesti melalui proses panjang. Pengambilan keputusan tingkat pertama dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri untuk menentukan nasib calon daerah baru terpaksa berjalan sampai dini hari.

Pada akhir Oktober lalu, Kabupaten Tambrauw bisa lolos setelah DPR menerima klarifikasi surat Gubernur Papua Barat mengenai cakupan wilayah calon kabupaten baru itu.

Sementara dalam rapat pada pertengahan Desember lalu, ada fraksi yang berkeras seluruh lima RUU disetujui, sementara pemerintah dan sebagian fraksi tetap kukuh bahwa hanya Maybrat dan Meranti yang memenuhi syarat. Namun, akhirnya Maybrat lolos.

Ketidakpuasan mengiringi ”kesepakatan” persetujuan daerah baru itu. Misalnya saja, Wakil Ketua Komisi II DPR Eka Santosa (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sempat menyoal inkonsistensi.

Pasalnya, pada pertengahan Oktober, Kepulauan Meranti tidak diloloskan berhubung persetujuan Gubernur dianggap tidak ”sah” karena prosedurnya tidak sesuai keputusan Menteri Dalam Negeri.

Sebaliknya, ada calon daerah yang disetujui sekalipun usia penyelenggara pemerintahan daerah induk tidak sesuai batasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan induk dari Kabupaten Morotai baru berusia 5 tahun, sementara usia minimal penyelenggaraan pemerintahan mestinya 7 tahun. ”Unsur politis sangat kuat, bahkan sampai elite di Jakarta,” sebut Eka.

Terus terjadi

Apa pun, 14 daerah baru sudah resmi terbentuk lagi dalam dua persidangan DPR terakhir. Bahkan, Ketua DPR Agung Laksono (Fraksi Partai Golkar) seusai lobi yang berlangsung sekitar 1,5 jam pada Jumat (19/12) menyampaikan kesepakatan DPR bahwa usul pembentukan Provinsi Tapanuli, Kota Brastagi, dan Kabupaten Mandau diserahkan kepada Komisi II untuk terus memprosesnya.

Nasib Provinsi Tapanuli terkendala belum adanya sikap DPRD Provinsi Sumatera Utara, sementara calon Kota Brastagi di Sumatera Utara dan Kabupaten Mandau di Riau masih belum memenuhi jumlah minimal kecamatan untuk membentuk kabupaten/kota baru hasil pemekaran.

Jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan bertambah lagi.

Terdapat 17 RUU pembentukan provinsi/kabupaten/kota yang masih dalam ”daftar tunggu”, yaitu menunggu surat Presiden mengenai penugasan menteri untuk membahasnya bersama DPR. Ke-17 RUU itu antara lain adalah soal pembentukan lima calon provinsi baru. Namun, syarat administratif ke-17 RUU tersebut masih belum lengkap. Misalnya, calon Kabupaten Morowali Utara masih belum ada persetujuan Bupati Morowali dan Gubernur Sulawesi Tengah.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, menilai tidak ada kesamaan persepsi dan kepentingan antara pihak legislatif dan eksekutif menyangkut pemekaran. Syarif menyebutkan, persetujuan pemekaran sarat dengan kepentingan politik jangka pendek. Dengan masa jabatan anggota DPR tinggal setahun lagi, tidak tertutup kemungkinan ada politik maksimalisasi-waktu.

Sisa masa jabatan adalah kesempatan yang mesti dimaksimalkan. Kemungkinan lain adalah ketika pihak eksekutif nyaris tidak berdaya berhadapan dengan legislatif yang menginisiasi mayoritas RUU pembentukan daerah baru. Padahal, instrumen menilai kelayakan lebih dikuasai oleh pihak eksekutif. ”Apa ini gejala pelapukan lembaga politik kita? Ini sangat mengkhawatirkan kalau bukan hanya fenomena sesaat,” sebut Syarif.

Syarif mengingatkan, mestinya masa depan daerah hasil pemekaran menjadi pertimbangan utama. Yang terasa, kesan pemaksaan sangat kental dalam setiap pembahasan RUU pemekaran. Padahal, ketika suatu daerah belum layak mekar, justru daerah itu sendiri yang terancam bahaya. Keuangan negara akan terbebani karena daerah baru hanya bisa ”menyusu” ke pusat.

Selain itu, kemampuan kelembagaan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari mestinya jadi pertimbangan. Perilaku penyelenggara bisa jadi malah menjerumuskan pemekaran menjauh dari tujuan sebenarnya. Misalnya saja, ada anggapan bahwa pemekaran akhirnya malah menjadi perluasan kantong korupsi. ”Boleh saja pemekaran, tapi mbok ya dipersiapkan secara matang,” saran Syarif. (SIDIK PRAMONO)

Tidak ada komentar: