Kamis, 04 Desember 2008

Hitung Cepat dalam Pilgub Jawa Timur



KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN / Kompas Images
Para petugas Panitia Pemungutan Suara melakukan pengitungan surat suara seusai penutupan pencoblosan pemilihan gubernur putaran II di TPS 1 Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (4/11).
Jumat, 5 Desember 2008 | 03:00 WIB


Deni Irvani

Hasil Pemilihan Gubernur Jawa Timur telah mendorong Bestian Nainggolan menulis di Kompas (17/11) dengan judul ”Masih Layakkah Survei Dipercaya?” untuk menyimpulkan bahwa lembaga survei di Indonesia tidak layak dipercaya karena hasil quick count lembaga-lembaga survei itu meleset dari hasil perhitungan KPUD.

Sebenarnya sudah banyak penjelasan bahwa hasil penghitungan cepat (quick count) dan hasil KPU Jawa Timur itu secara statistik tidak berbeda. Tetapi, tampaknya penjelasan-penjelasan itu belum cukup.

Di samping itu, karena isi tulisan tersebut dirasakan cukup provokatif dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, sebagai pihak yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan quick count pada Pilgub Jawa Timur, saya merasa perlu menulis secara khusus untuk menjelaskannya.

”Margin of error”

Quick count bertumpu pada sampel dan di Jawa Timur, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menetapkan sampelnya 400 TPS atas dasar beberapa pertimbangan.

Pertama, diperkirakan selisih perolehan suara Karsa dan Kaji dari quick count akan lebih dari 4 persen sehingga selisih tersebut secara statistik signifikan dengan teknik kombinasi stratified-cluster sampling.

Kedua, penambahan sampel akan meningkatkan biaya pelaksanaan quick count.

Ketiga, menurut puluhan kali quick count, selisih yang sangat tipis, di bawah 1 persen, sangat jarang terjadi. Hanya terjadi di putaran pertama Pilgub Kalimantan Timur, di Pilgub Maluku Utara, dan di Pilgub Sulawesi Selatan.

Karena bersandar pada sampel, quick count pasti ada error-nya: tidak akan persis sama dengan hasil penghitungan seluruh TPS.

Di Jawa Timur, LSI menyatakan sejak awal bahwa error ini bisa +/- 1-2 persen untuk memudahkan perhitungan. Pada dasarnya, margin of error quick count di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini terjadi bukan hanya karena jumlah sampelnya berbeda, tapi terutama juga karena besaran variasi antar-cluster ataupun antarstrata di setiap pilkada tidak sama. Namun, berdasarkan pengalaman, batasan margin of error di +/- 1-2 persen secara umum bisa menjadi acuan.

Margin of error yang kami umumkan tersebut tidak diterima oleh Saudara Bestian. Menurut dia, untuk sampel 400 TPS seperti yang digunakan LSI yang sebanding dengan 80.000 pemilih, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error-nya +/- 0,3 persen. Jadi, cukup jauh dari +/- 1-2 persen.

Margin of error Bestian itu tampaknya dihitung dengan asumsi bahwa penarikan sampel dalam quick count tersebut dilakukan dengan teknik simple random sampling dan unit penarikan sampel terkecilnya berupa suara tiap pemilih. Asumsi Bestian ini tidak tepat sebab teknik sampling yang digunakan LSI adalah stratified cluster sampling. Bestian harusnya menghitung efek dari stratifikasi dan cluster tersebut untuk mengetahui secara lebih teliti margin of error quick count LSI.

Pertanyaannya, mengapa stratified-cluster sampling, bukan simple random sampling saja? Secara teknis, simple random sampling tidak mungkin diterapkan untuk quick count karena sebelum pencoblosan, teknik ini menuntut kita tahu populasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara sah lengkap dengan identitasnya sehingga ketika terpilih sebagai sampel, bisa dicari dan dicatat. Padahal, data ini hanya diketahui setelah pencoblosan selesai dan tiap-tiap hasil coblos itu pun tanpa identitas. Jadi, simple random sampling dengan unit penarikan sampel terkecil berupa suara tiap pemilih tidak mungkin diterapkan.

Jalan keluar dari kesulitan itu adalah stratified cluster sampling. Stratifikasi pada dasarnya untuk mereduksi variasi di dalam sampel sehingga bisa mengurangi error. Sementara cluster untuk memudahkan penarikan sampel, tapi berpotensi menaikkan variasi di dalam sampel dan karena itu meningkatkan error. Berapa besar efek stratifikasi dan cluster ini terhadap total error dalam teknik stratified cluster sampling dengan TPS 400 itu?

Dalam Pilgub Jatim, populasi TPS-nya 62.765 untuk seluruh provinsi dikelompokkan menurut kabupaten/kota. Di tiap-tiap kabupaten/kota itu ditentukan proporsi TPS yang harus dipilih sesuai dengan jumlah atau populasi TPS di tiap-tiap kabupaten/kota tersebut, dan ini juga sesuai dengan proporsi populasi pemilih.

Dalam ilmu statistika, bagian ini dinamakan proses stratifikasi. Kemudian di setiap kabupaten/kota ditarik sampel TPS secara acak dengan jumlah yang proporsional tadi. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari populasi TPS di tiap-tiap kabupaten dan kota. Bagian kedua ini disebut cluster sampling.

Hasil quick count menunjukkan bahwa pasangan Kaji mendapat suara 50,44 persen dan pasangan Karsa mendapat suara 49,56 persen. Dengan hasil prediksi suara yang sangat ketat tersebut, dalam rilisnya kepada pers, LSI menyatakan tidak bisa menyimpulkan siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilgub Jatim.

Pertanyaan yang kemudian mungkin muncul adalah apa yang mendasari kesimpulan tersebut, padahal menurut perhitungan simple random sampling margin of error-nya (+/- 0,3 persen) kurang dari separuh selisih suara Kaji dan Karsa menurut quick count LSI (0,44 persen)?

Formula untuk menghitung margin of error quick count LSI adalah sebagai berikut:

Dengan formula di atas, margin of error quick count LSI pada Pilgub Jawa Timur putaran kedua diprediksikan sebesar +/- 1,7 persen, bukan +/- 0,3 persen seperti yang dihitung oleh Bestian dengan asumsi simple random sampling itu. Dengan margin of error +/- 1,7 persen, suara Karsa sebesar 47,9 persen sampai 51,3 persen, sedangkan suara Kaji 48,7 persen sampai 52,1 persen. Artinya, suara kedua calon tidak berbeda signifikan sehingga tidak ada bukti yang kuat untuk dijadikan landasan untuk menarik kesimpulan siapa di antara kedua calon yang akan memenangi pilkada. Pemenangnya bisa Kaji, bisa Karsa.

Selisih antara prediksi quick count LSI dan hasil resmi KPU Jatim hanya 0,64 persen, yang berarti masih di dalam rentang margin of error 1,7 persen. Dengan demikian, tidak ada masalah dengan hasil quick count yang diumumkan LSI.

Semoga tulisan ini bisa dipahami oleh pemerhati quick count sehingga tidak gegabah dalam memberi pernyataan yang terkesan menafikan kredibilitas lembaga survei dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman masyarakat.

Deni Irvani Peneliti Lembaga Survei Indonesia

Tidak ada komentar: