Kamis, 25 Desember 2008

Urgensi Moratorium Pemekaran Daerah


Aloysius Gunadi Brata

Pemerintah baru saja menyetujui pemekaran dua kabupaten.

Kedua kabupaten baru itu adalah Kabupaten Maybrat (Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Ke- pulauan Meranti (Provinsi Riau). Maka, total daerah di Indonesia jadi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota (Kompas, 22/12).

Para penggagas pemekaran daerah tentu menyambut antusias pengesahan itu, terlebih bila hal itu didasarkan motivasi memburu rente ekonomi dan kekuasaan politik. Namun, karena pemekaran selama ini tak kunjung menghasilkan ”buah” yang berkualitas, amatlah krusial untuk menghentikan atau setidaknya memoratorium munculnya daerah-daerah otonom baru (DOB).

Bertolak belakang

Sikap pemerintah pusat yang begitu akomodatif terhadap gagasan (atau desakan politisi) soal pemekaran, sebenarnya bertolak belakang dengan temuan dan hasil kajian yang dilakukan sendiri.

Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 yang dilakukan Bappenas dan UNDP (Juli 2008) menyarankan agar keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan amat hati-hati.

Disebutkan, diperlukan masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah selesai—bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan—baru dilakukan evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan.

Kenyataannya, jangankan mendesakkan urgennya masa persiapan sebelum daerah baru dibentuk, pemerintah justru terkesan tidak bisa menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal, studi Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal ini. Pasalnya, secara umum, kondisi DOB masih tertinggal dari daerah induk (dan daerah kontrol/’sebanding’) meski pemekaran telah berjalan lima tahun.

”Menyerahnya” pemerintah pusat terhadap desakan pemerintah daerah mungkin dipandang sebagai upaya politik untuk merebut hati daerah, hal yang penting untuk menjadi salah satu modal memenangi pemilu mendatang. Politisi, dalam hal ini legislatif, memiliki kepentingan politik yang tidak jauh berbeda. Sementara itu, di daerah, pemekaran terkait kepentingan politik-ekonomi elite lokal tampak dari sejumlah studi politik lokal di Indonesia (Nordhold & Klinken 2007, eds).

Nasib rakyat

Dalam kondisi semacam itu, tentu amat sulit berharap adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat ataupun kualitas pelayanan publik di DOB. Disertasi Riatu Mariatul Qibthiyyah (2008) dari Andrew Young School of Policy Studies (Georgia State University) juga memberi indikasi demikian. Analisisnya menemukan, dampak pemekaran di Indonesia tidak seragam di antara daerah-daerah yang terpengaruh (seperti DOB dan daerah induk).

Perbedaan dampak ini lalu menguatkan pendapat, pemekaran hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu, sementara daerah yang lain tertinggal. Berdasarkan evaluasi Depdagri, November 2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin (Kompas, 22/12).

Dengan demikian, pemekaran daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas-UNDP menemukan, pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB sehingga DOB menjadi tempat pemusatan penduduk miskin.

Tentu saja hal ini membuat perbedaan kesejahteraan kian parah antara daerah induk dan DOB. Jika ada yang mengalami peningkatan kesejahteraan, itu tidak lain hanya segelintir elite lokal yang terkait elite pusat dan dalam beberapa kasus dapat juga dengan korporasi-korporasi bisnis multinasional (Brata, 2008).

Padahal, pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah sering menjadi argumen utama pemekaran daerah. Namun, yang terjadi justru pemusatan ketertinggalan secara spasial dan peningkatan ketimpangan antarwarga di daerah baru.

Pengalaman menunjukkan, ketimpangan sosial-ekonomi merupakan salah satu penjelas penting konflik sosial yang terjadi di sini. Ironis bila pemekaran di satu sisi tak memperbaiki kualitas pelayanan publik tetapi justru menguatkan bibit-bibit konflik sosial yang akan kian bernuansa lokal.

Maka, tidak salah bila pembentukan daerah baru benar-benar dipertimbangkan matang, bila perlu dihentikan, setidaknya dimoratorium agar tidak menjadi bumerang pada kemudian hari.

Aloysius Gunadi Brata Dosen Prodi Ilmu Ekonomi, FE-UAJ, Yogyakarta


Tidak ada komentar: