Kamis, 11 Desember 2008

2.665 Raperda dan Perda Dibatalkanssssss

s
Pemerintah Daerah Belum Sadar Krisis

Jakarta, Kompas - Sebanyak 2.665 rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah terkait aturan pajak dan retribusi dibatalkan oleh pemerintah pusat. Rancangan perda dan perda itu dinilai mengganggu iklim investasi, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dan tidak sejalan dengan aturan yang dibuat pemerintah pusat.

Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan (Depkeu) Mardiasmo mengungkapkan hal tersebut, Kamis (11/12) di Jakarta.

Dijelaskan, sejak tahun 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raperda). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi perda.

Adapun dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Perda tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

”Banyak aturan yang tidak sinergis dengan aturan di pusat. Pungutan yang diambil daerah cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini yang saya sinyalir otonomi menjadi auto money. Daerah berlomba-lomba menerapkan pungutan tanpa memerhatikan masalah lain,” tutur Mardiasmo.

Perda PDRD yang dibatalkan sebagian besar soal aturan pungutan. Dari 11.401 perda, 15 persen di antaranya di sektor perhubungan, 13 persen pertanian, 13 persen industri dan perdagangan, dan 11 persen kehutanan.

Perda yang paling banyak dibatalkan adalah yang berlaku di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Pungutan yang ditetapkan di daerah, yang dinilai bermasalah, antara lain, adalah pajak pengolahan minyak yang tumpang tindih dengan aturan di pusat. Di pusat sudah ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri pengolahan minyak.

Contoh lain, retribusi atas pasar atau pelabuhan yang bukan milik pemerintah daerah (pemda). Pajak Hotel yang dikenakan atas jasa katering yang tumpang tindih dengan Undang-Undang PPN. Pajak Hiburan yang dikenakan atas taman rekreasi dan cagar budaya di daerah, padahal taman rekreasi bukan obyek Pajak Hiburan.

Mengabaikan

Mardiasmo mengatakan, meski sudah direkomendasikan batal, beberapa daerah mengabaikannya dan tetap menerapkan perda atau raperda yang sudah dibatalkan. ”Ini terjadi karena tidak ada sanksi bagi daerah yang nakal,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah berencana menerapkan sanksi. Rencana ini tengah dikaji dalam pembahasan amandemen UU PDRD yang diharapkan selesai minggu pertama Januari 2009.

”Kami sedang mengkaji sanksinya. Usulan pemerintah, setiap daerah yang melanggar rekomendasi kami akan dipotong dana perimbangannya,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto berpendapat, pembenahan ribuan perda bermasalah harus dilakukan pemerintah. Ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan krisis global saat ini.

”Masih banyak pemerintah daerah yang tidak menyadari ancaman krisis dan terus mempertahankan beragam aturan yang memberatkan perekonomian. Bagaimana mengurangi atau menghapus praktik ekonomi biaya tinggi itu konkret, apalagi pada saat krisis seperti sekarang ini,” ujar Djimanto.

Djimanto mencontohkan, di berbagai daerah, pemda mewajibkan setiap perusahaan memiliki sejumlah peralatan terkait syarat keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja yang ditentukan pemda.

”Masalahnya, setelah perusahaan membeli alat-alat yang disyaratkan, ada kewajiban membayar retribusi pengawasan oleh pemda terhadap ketersediaan dan kondisi alat-alat itu. Kan aneh, perusahaan disuruh beli, setelah itu diawasi pemda, tetapi perusahaan juga yang harus membiayai pengawasannya,” papar Djimanto. (OIN/DAY)

Tidak ada komentar: