Kamis, 04 Desember 2008

Pilgub Putaran III (1)


Teologi Perlawanan Masyarakat Madura

INI rekor baru dalam pesta demokrasi tingkat provinsi di Indonesia. Di Provinsi lain belum ada pemilihan gubernur (Pilgub) sampai dilaksanakan 3 putaran.

Di Jatim fenomena semacam itu bakal terjadi. Di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, Madura bakal digelar Pilgub Jatim putaran III. Sedang di Kabupaten Pamekasan hanya dilakukan penghitungan ulang atas hasil coblosan Pilgub putaran II.

Perintah yuridis-formal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah menyidangkan sengketa rekapitulasi suara Pilgub putaran II. Sengketa ini melibatkan duet cagub-cawagub Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) versus KPU Jatim dan Panwas. Pihak terkait dengan kasus ini adalah duet cagub-cawagub Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Pilgub Jatim menjadi perhelatan pesta demokrasi tingkat provinsi paling mahal dan paling melelahkan di Indonesia.

Tak kurang nilai anggaran sekitar Rp 850 miliar tersedot untuk menentukan seorang figur gubernur dan wakil gubernur di provinsi berpenduduk 37 juta jiwa lebih ini.

Maklum, jumlah pemilih Pilgub sangat besar, yakni mencapai 29,2 juta pemilih, yang memberikan hak suaranya di 62 ribu lebih tempat pemungutan suara (TPS).

Kenapa pelanggaran Pilgub putaran II hanya terjadi di Madura, khususnya di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan? Bahkan, MK dalam putusannya mengatakan bahwa bentuk pelanggaran itu bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Apakah hal itu ada kaitan dengan perspektif latar politik, antropologis, kultural, dam sosiologis masyarakat Madura, khususnya komunitas Madura di Bangkalan dan Sampang?

“Warga Madura itu umumnya tak mudah diikat dan bersifat egaliter. Karena itu, ada sedikit saja kekuatan, baik negara maupun nonnegara, mengobok-obok kebebasan mereka, ya pasti akan dilawan. Buktinya tak hanya di Pilgub putaran II, pada Pemilu terakhir rezim Orde Baru tahun 1997, juga terjadi coblosan ulang di Sampang,” kata pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Prof Dr Solichin Abdul Wahab MA, Kamis (4/12).

Bentuk perlawanan yang dilakukan warga Madura ketika kebebasan mereka diobok-obok bisa dalam bentuk diam, bersuara secara terbuka, dan aksi fisik. Kalau aksi fisik seperti pada kasus pembebasan tanah untuk pembangunan Waduk Nipah di Sampang pada tahun 1993, dimana persilisihan ini berujung terjadinya bentrokan fisik antara warga yang menguasai lahan dan militer.

Sejumlah nyawa melayang. Saat itu, Sampang di bawah pimpinan Bupati Bagus Hinayana yang berlatar belakang militer (TNI AD). “Itulah potret antropologi politik masyarakat Madura di Sampang. Hal itu tak jauh dengan komunitas masyarakat Madura lainnya di Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep,” kata Solichin yang meraih gelar doktor (S3) bidang kebijakan publik dari Wageningen of University Belanda.

Pada Pemilu 1997 memang terjadi huru-hara politik di Sampang. Sejumlah TPS dibakar berikut perangkat keras lain yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu. Aksi ini muncul sebagai respon kalangan yang tak puas dengan penyelenggaraan pesta demokrasi yang sarat rekayasa penguasa.

Kabupaten Sampang sejak Pemilu 1992 dikuasai Golkar. Pada Pemilu 1997, kemenangan itu itu coba direbut lagi oleh PPP. Kombinasi mesin Golkar plus intervensi birokrasi dan militer mencoba mempertahankan kemenangan Golkar di Sampang. Berbagai bentuk kecurangan dan pelanggaran Pemilu berlangsung tanpa ada peringatan dan sanksi. Warga protes. Anarkisme terjadi di sejumlah titik lokasi di Sampang.

Pemilu Ulang

Warga, khususnya elite dan simpatisan PPP di bawah pengaruh kuat KH Alawy Muhammad, menuntut Pemilu ulang di semua TPS di Sampang. Elite PPP saat itu menuntut dilakukannya Pemilu ulang di 1.033 TPS.

Penyebabnya, semua kotak suara, termasuk formulir CA-1, terbakar sewaktu kerusuhan 29 Mei 1997 malam. Anarkisme massa itu meledak karena banyak warga yang tak didaftar sebagai pemilih, saksi PPP sebagian besar tak diberi formulir CA-1, dan kepanitiaan di semua tingkatan tak menerapkan prinsip luber dan jurdil.

Kenyataannya, dari 1.033 TPS yang dituntut elite PPP Sampang untuk digelar Pemilu ulang, hanya disetujui 86 TPS. Dalam pelaksanaannya, ternyata tak semua TPS diulang. Ada 21 TPS yang tak diulang, sedang sisanya 65 TPS tetap melakukan coblos ulang.

Alasannya, CA-1-nya ditemukan atau ada yang masih menyimpan. Beberapa TPS yang tak jadi melaksanakan coblosan ulang itu antara lain 5 TPS di Desa Gunung Sekar, 2 TPS Rong tengah, 7 TPS Delpenang, 1 TPS Gunung Maddah, dan 6 TPS Tenggumung. Pemilu ulang tahun 1997 di Sampang itu tanpa partisipasi PPP. Sebab, pemilu tersebut tak dilaksanakan di seluruh TPS di Sampang sebagaimana tuntutan elite partai ini.

Pengurus PPP meminta Pemilu ulang secara keseluruhan harus digelar, karena hampir di semua TPS diwarnai pelanggaran dan kecurangan bersifat terstruktur dan sistemis. Akhirnya, ending Pemilu 1997 menempatkan Golkar merebut kursi terbanyak sebanyak 21 kursi dan PPP 16 kursi.

Saat itu yang menjadi Bupati Sampang adalah Fadhilah Budiono, yang di kemudian hari setelah rezim Orde Baru tumbang, menjadi tokoh PPP. Dia didukung partai berasas Islam itu untuk merebut kursi Bupati Sampang untuk masa jabatan kedua.

Fenomena Pemilu ulang di Sampang, Madura tahun 1997 adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Peristiwa politik itu jadi cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia. Sekali lagi, Sampang memberikan inspirasi politik kepada warga lainnya untuk memberikan perlawanan dalam bentuk action kepada kekuatan negara dan nonnegara yang mencoba mengobok-obok kebebasan politik mereka.

Perlawanan itu tak sekadar bergerak di ranah teori semata. “Posisi Sampang yang berada di tengah-tengah Pulau Madura lebih memperlihatkan karakter keras dibanding komunitas Madura di Sumenep dan Pamekasan. Tapi, saya tak mengatakan mereka dalam kategori ekstreminitas dibanding komunitas lainnya di Madura,” kata Solichin Abdul Wahab.

Di sisi lain, secara keseluruhan beda suara Kaji versus Karsa pada Pilgub putaran II di 3 kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan) sekitar 220 suara untuk kemenangan Karsa. Namun, setelah turun putusan MK justru Kaji lebih unggul 138.746 suara dibanding Karsa.

Merujuk rekapitulasi suara KPU Jatim hasil Pilgub putaran II, Karsa mendapat 7.729.944 suara, sedang Kaji sebesar 7.669.721 suara. Selisih suara antara Karsa dan Kaji sebanyak 60.223 suara untuk kemenangan Karsa.

Dengan adanya putusan MK tersebut, suara Kaji menjadi 7.336.357 suara. Jumlah suara tersebut setelah dikurangi perolehan suara Kaji di Bangkalan dan Sampang sebanyak 333.364 suara. Sedang suara Karsa menjadi 7.197.611 suara.

Tingkat suara Karsa ini berdasarkan penghitungan suara Karsa versi rekapitulasi suara KPU Jatim dan dikurangi dengan suaranya di Bangkalan dan Sampang sebanyak 532.333 suara. Terlepas dari faktor penghitungan ulang di Pamekasan, maka suara Kaji untuk sementara lebih unggul sebanyak 138.746 suara. (Ainur Rohim-46)

Tidak ada komentar: