Sabtu, 13 Desember 2008

Menjaga Demokrasi di Jawa Timur


Pemilihan Gubernur Jawa Timur dinilai cacat di tiga kabupaten Madura. Kedua pihak mesti menahan diri.

BILA Anda tak percaya demokrasi dan menganggap otonomi daerah hanya beban bagi negeri ini, mari melihat pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Di provinsi itu, konflik pascapemilihan pada November lalu memang bisa terjadi kapan saja. Tapi, melihat proses penyelesaian perseteruan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk sementara, bolehlah kita berbesar hati. Bahwa politik di Indonesia, sejauh ini, bisa hadir dalam wujud yang santun, ramah, dan konstitusional.

Adalah pasangan calon gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono yang melapor kepada Mahkamah Konstitusi perihal kecurangan pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam pemilihan lalu. Khofifah dan Soekarwo adalah dua calon Gubernur Jawa Timur yang bertarung setelah mendapat suara teratas dalam pemilihan putaran pertama. Dalam pemilihan putaran kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan Soekarwo sebagai pemenang.

Khofifah memprotes karena menduga ada kecurangan di sejumlah tempat di Madura. Mahkamah lalu bersidang dan pekan lalu memutuskan pencoblosan harus diulang di Sampang dan Bangkalan paling telat 60 hari setelah palu hakim diketuk. Di Pamekasan penghitungan suara yang harus diulang.

Penghitungan ulang ini menjadi signifikan karena perbedaan suara kedua kandidat sangat tipis: 0,6 persen. Khofifah berharap, jika pemilihan ulang ini berlangsung adil, ia akan unggul.

Jika tak percaya pada demokrasi dan menganggap otonomi daerah hanya biang kerok, Anda tentu akan pesimistis dan mengatakan rusuh bisa terjadi kapan saja. Memang benar, amuk pendukung satu atau dua kandidat bisa meletus menjelang, pada saat, atau setelah pencoblosan ulang. Tapi kemungkinan sebaliknya bisa pula terjadi: sengketa itu selesai dengan damai, tanpa bentrok.

Optimisme ini bukan tanpa dasar. Proses penyelesaian sengketa membuktikan bahwa politik di Jawa Timur bisa dijalankan dengan transparan dan hati teduh. Mahkamah Konstitusi dalam dua pekan persidangan dengan adil memberikan kesempatan kepada kedua seteru untuk beradu bukti dan argumen. Kedua kandidat, juga publik melalui liputan media massa, bisa melihat bagaimana pembuktian dilakukan secara terbuka di depan meja hijau.

Kubu Khofifah, misalnya, membawa saksi ke sidang. Mereka memutar rekaman percakapan telepon aparat desa yang merencanakan kecurangan. Mereka juga menghadirkan saksi yang diminta main sabun.

Mahkamah yakin praktek curang terjadi. Di Sampang, pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf terbukti menggelembungkan suara. Di Pamekasan, panitia menggunakan formulir rekapitulasi yang tak standar karena hanya menyajikan rekap suara tiap desa dan bukan tiap tempat pemungutan suara. Kubu Soekarwo, untungnya, dengan legawa menerima putusan itu.

Proses yang sudah berjalan baik ini mesti dijaga. Kedua kubu mesti menahan diri agar pemilihan ulang berjalan lancar dan adil. Apalagi pemilihan ulang akan diselenggarakan tiga bulan sebelum pemilu legislatif 2009. Ricuh di Jawa Timur tentu akan berpengaruh pada penyelenggaraan pemilu nasional.

Siapa pun yang menang dalam pemilihan ulang nanti harus berlapang dada. Mereka yang curang harus dihukum. Kepala desa dan ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara yang memerintahkan pencoblosan tak halal harus diberi sanksi.

Pemilihan kepala daerah, sebagai perangkat demokrasi, harus dipelihara sebagai virtue atau kebaikan. Sengketa pemilihan tak boleh dibiarkan menjadi alasan bagi pembenci demokrasi untuk menyerang demokrasi.

Tidak ada komentar: