Selasa, 11 Agustus 2009

UANG NEGARA


Rp 600 Triliun di Daerah Berbahaya

Rabu, 12 Agustus 2009 | 04:35 WIB

Jakarta, Kompas - Pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah mengarah pada kondisi yang membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Padahal, sekitar 60 persen atau Rp 600 triliun dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disalurkan ke daerah.

Pengelolaan yang membahayakan ini karena laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapat opini terburuk dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin bertambah. Sebaliknya, jumlah LKPD dengan opini terbaik dari BPK terus merosot.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Selasa (11/8), saat berbicara dalam Rapat Kerja Nasional Akuntansi Tahun 2009.

Perkembangan yang membahayakan itu terlihat dari hasil audit BPK atas LKPD tahun 2004 dan dibandingkan dengan tahun 2007 serta 2008. Jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) justru menurun dari 21 daerah pada tahun 2004 menjadi 8 daerah tahun 2008. WTP merupakan opini terbaik dari BPK.

Adapun jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian juga turun dari 249 daerah tahun 2004 menjadi 137 daerah tahun 2008. Opini ini setingkat lebih rendah dari opini WTP.

Akan tetapi, LKPD yang mendapatkan opini tak memberikan pendapat (disclaimer) justru naik dari 7 daerah tahun 2004 menjadi 120 daerah tahun 2007. Opini BPK ini menunjukkan banyaknya masalah pada LKPD.

”Lebih buruk lagi, LKPD yang mendapatkan opini adverse atau tidak wajar malah naik dari 10 daerah tahun 2004 menjadi 59 daerah tahun 2007. Kecenderungan berbahaya. Memperlihatkan sikap pemerintah daerah yang tak memberi perhatian pada pengelolaan keuangan negara yang baik,” ungkap Sri Mulyani.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, kondisi LKPD sangat mengkhawatirkan karena buruknya laporan keuangan bisa memengaruhi persepsi calon investor yang berniat menanamkan modal di daerah tersebut. Apalagi pemerintah daerah sudah diperkenankan menerbitkan obligasi untuk menambah sumber pembiayaan APBD mereka.

”Bagaimana obligasi kalian (pemerintah daerah) itu bisa ada yang beli kalau laporan keuangannya tidak beres?” ujarnya.

Kondisi itu mengkhawatirkan karena dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN, sekitar 60 persennya dialirkan ke daerah. Sebagai contoh, dari total anggaran belanja negara pada APBN Perubahan 2009 senilai Rp 1.005,7 triliun, sebesar 60,2 persen mengalir ke daerah melalui berbagai saluran.

Pertama, lewat program nasional (bantuan langsung tunai, Program Nasional Masyarakat Mandiri) Rp 35 triliun. Kedua, lewat anggaran pemerintah pusat (subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk) Rp 140 triliun.

Ketiga, melalui anggaran transfer ke daerah (seperti dana alokasi umum dan dana bagi hasil) Rp 309,6 triliun. Keempat, lewat program kementerian dan lembaga nondepartemen (antara lain dana dekonsentrasi, tugas pembantuan) Rp 120,6 triliun.

Turunkan kepercayaan

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, buruknya hasil audit atas LKPD tersebut bisa menurunkan kepercayaan diri pemerintah daerah atas kemampuannya mengelola keuangan. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya keengganan, bahkan ketakutan, menggunakan keuangan daerah yang berimplikasi pada turunnya penyerapan anggaran.

Transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah pun bisa terhambat. Contohnya, transfer dana alokasi khusus (DAK) tidak akan dilakukan sebelum penggunaan DAK periode sebelumnya dilaporkan atau tak dipakai.

Pada akhirnya, kualitas program yang dirancang pemerintah daerah akan kian rendah. Atas dasar itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah memperkuat sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Misalnya, diawali dengan evaluasi atas pelatihan keuangan daerah yang sudah menghasilkan lulusan tenaga pembukuan.

”Misalnya, apakah keterampilan yang diperoleh para lulusan itu bisa diimplementasikan. Sebab, rotasi jabatan sering kali pada rentang waktu yang pendek sehingga belum ada transfer pengetahuan dan keterampilan. Lalu, perlu ada penguatan peran aparat pengawasan daerah (Bawasda). Adapun pemerintah pusat perlu memberikan bantuan pelatihan,” ujar Agung.

Pengamat otonomi daerah dari Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, menegaskan, buruknya LKPD sangat mengkhawatirkan karena tata kelola keuangan menjadi semakin buruk. Itu pun tidak konsisten dengan semangat pemilihan kepala daerah langsung yang mengedepankan tata kelola keuangan yang baik.

Pemerintah pusat harus menyiapkan mekanisme sanksi, yakni dengan mengurangi atau menahan DAK hingga daftar isian pelaksanaan anggaran. ”Selain itu, pemerintah jangan segan-segan mengumumkan daerah-daerah yang tidak berprestasi itu,” ujarnya. (OIN)

Tidak ada komentar: