Rabu, 18 Februari 2009

Jeda Pemekaran Harus Dilakukan

85 Persen Pemekaran Tidak Berdampak Positif
Selasa, 17 Februari 2009 | 23:50 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah dan semua pihak yang terlibat diminta segera menerapkan kebijakan jeda atau penghentian sementara pemekaran wilayah di sejumlah daerah dalam kurun waktu tertentu untuk melakukan evaluasi total.

Selain melakukan evaluasi, juga sekaligus mengadakan penetapan rancangan induk (grand design) soal tata ruang pemekaran di daerah-daerah.

Dengan demikian, pada masa mendatang tidak perlu lagi terjadi pemekaran daerah yang justru tidak tepat sasaran dan secara ekonomi malah merugikan dan memiskinkan daerah bersangkutan, apalagi jika daerah tersebut sekadar mengandalkan pendapatan dari Dana Alokasi Umum.

Kesimpulan tersebut muncul dalam diskusi bertema ”Moratorium Pemekaran Daerah”, Selasa (17/2), yang digelar di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Hadir sebagai pembicara adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, guru besar Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, anggota DPR dari Partai Golkar, Idrus Marham, dan Mardiyono dari Persatuan Wartawan Indonesia.

Menurut Bambang, daerah hasil pemekaran yang ingin dibentuk sebaiknya terlebih dahulu harus mengajukan bukan sekadar naskah akademis, melainkan juga studi kelayakan ekonomi dan finansial, yang dibuat oleh lembaga pengkajian yang punya kredibilitas dan telah distandardisasi sesuai dengan ketetapan pemerintah pusat.

Idrus Marham memaparkan bahwa masa jeda baru selesai sampai ada rancangan induk tentang tata ruang pemekaran Indonesia. Dengan demikian, nantinya tidak perlu lagi ada persaingan atau mobilisasi untuk mengadakan pemekaran wilayah,” ujar Idrus.

Idrus mengakui bahwa selama ini pemekaran yang berlangsung di DPR kental dengan kepentingan politik praktis. Hal itu tecermin dari berbagai rekayasa dan cara-cara mobilisasi massa yang muncul di daerah-daerah tertentu yang mencoba memekarkan diri.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono mengatakan, 85 persen pemekaran wilayah tidak berdampak positif pada pelayanan publik dan peningkatan kehidupan masyarakat. Sebagian besar sumber pendapatan daerah otonom baru juga berasal dari dana perimbangan. Oleh karena itu, diperlukan moratorium pemekaran wilayah.

Aturan disempurnakan

Mardiyanto dalam diskusi mengatakan, saat ini sudah ada penyempurnaan peraturan mengenai pemekaran wilayah. Seusai diskusi, Mendagri menegaskan bahwa pemerintah kini sedang menyelesaikan rancangan induk daerah otonom sekaligus tahapan sehingga jumlah daerah otonom ideal di Indonesia tercapai. Rancangan induk ditargetkan rampung sebelum masa jabatan pemerintah berakhir tahun 2009 ini.

Di Padang, Sumatera Barat, pakar hukum tata negara, Saldi Isra, menilai pemerintah pusat punya tanggung jawab penuh atas pemekaran yang telah dilakukan. Tanggung jawab juga diperlukan untuk mengevaluasi seluruh perjalanan daerah hasil pemekaran. (INA/ART/DWA)

Selasa, 17 Februari 2009

Pemekaran Lebih Didasari Kepentingan Elite Politik

Jakarta, Kompas - Terjadinya konflik dalam pemekaran sebuah wilayah diduga lebih banyak disebabkan oleh pertarungan kepentingan elite politik daripada kepentingan rakyat. Bahkan, mereka pula yang diduga memfasilitasi terjadinya tindakan anarkis untuk mencapai ambisi politik.

Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Oslan Purba, Senin (16/2) di Jakarta.

Pernah terjadi

Kekerasan yang terjadi mengiringi unjuk rasa pembentukan Provinsi Tapanuli pada 3 Februari lalu menjadi contohnya. Oslan mengatakan, seharusnya kejadian tersebut dapat diantisipasi, apalagi kejadian nyaris serupa juga pernah terjadi sebelumnya.

Dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Imparsial itu, dikemukakan pula bahwa anarkisme yang menyebabkan korban jiwa tersebut juga harus dihentikan. Selain mencoreng wajah demokrasi Indonesia, anarkisme juga menjadi ancaman bagi proses demokratisasi.

Konflik kepentingan

Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian berpendapat bahwa sumber-sumber konflik dalam pemekaran itu lebih disebabkan oleh semakin mengerasnya konflik kepentingan. Pemekaran di Indonesia, menurutnya, sebagian besar didasari oleh kepentingan dan ambisi politik kekuasaan serta ekonomi.

”Bukan didasari oleh kepentingan untuk menyejahterakan rakyat atau memperkuat otonomi,” kata Ichsan.

Menurutnya, kondisi seperti itu harus diwaspadai. Rusdi Marpaung dari Imparsial berpendapat bahwa lemahnya kerja intelijen turut berpengaruh. Menurutnya, berbagai kejadian selayaknya tidak lepas dari pemantauan kerja intelijen.

Untuk itu, mereka mengimbau agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Selain itu, mereka juga mengimbau agar calon anggota legislatif tidak menggunakan cara kekerasan dalam berpolitik.

Jajaran aparat keamanan pun diharapkan mampu bekerja dengan lebih profesional dan peka melihat kondisi emosional masyarakat. (JOS)

Stop Pemekaran

Wahyudi Kumorotomo

Setelah isu kebijakan pemekaran daerah memakan korban meninggalnya Ketua DPRD Sumut, wacana yang berkembang adalah menstop pemekaran.

Bisakah ini dilakukan melihat masih banyaknya tuntutan dari daerah?

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah berkali- kali menyerukan moratorium pemekaran. Juga sudah ada PP Nomor 78 Tahun 2007 menggantikan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang dianggap kurang ampuh mencegah tuntutan pemekaran.

Namun, pemecahan wilayah administratif terus berlanjut. Indonesia kini terbagi dalam 33 provinsi dan 491 kabupaten. Daerah amat banyak, sulit dikendalikan secara administratif, sedangkan pelayanan publik justru menurun.

Dalam hal penduduk, provinsi terkecil hanya dihuni kurang dari 800.000 jiwa (Gorontalo), yang terbesar dihuni 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk kabupaten/kota, jumlahnya antara 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori) dan 4,1 juta jiwa (Kota Bandung).

Secara teoretis, pemekaran sebenarnya merupakan akibat logis desentralisasi. Masalahnya, pemekaran di Indonesia kini sudah kurang rasional dan landasan argumentasinya lemah (Ferrazzi, 2008). Pemekaran tidak lagi mengedepankan tujuan desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, menciptakan pemerintah daerah yang responsif, dan meningkatkan kemakmuran di daerah.

Usul pemekaran biasanya karena faktor sejarah, adat, bahasa, etnis, atau merasa tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitar. Lalu elite politik, calon bupati, atau anggota DPRD mendorong usul itu dengan menebar janji. Pemekaran juga didorong jajaran pemda karena peluang jabatan baru. Mereka mendapat manfaat dari kenaikan eselon atau adanya proyek gedung baru.

Sebuah kabupaten pemekaran di Maluku didapati tim anggaran berada dalam posisi sulit karena proyek-proyek gedung sudah seizin dinas pekerjaan umum dan bupati baru untuk dikerjakan sebelum APBD disahkan. Jika pemda tak ingin malu karena utangnya kepada rekanan tidak terbayar, tim harus menyetujui alokasi dana untuk proyek itu.

Ketika muncul usulan pemekaran daerah, elite politik di pusat cenderung menyetujui tanpa pertimbangan matang. Dari 17 paket RUU pembentukan yang diusulkan DPR tahun lalu, sebenarnya hanya tiga yang layak (Kompas, 23/12/2008). Berbeda dengan RUU Antipornografi atau RUU Badan Hukum Pendidikan terkait pendidikan tinggi yang disorot media dan LSM, pembahasan RUU pemekaran hampir selalu mulus. Dapat ditambahkan, uang sidang dan honor bagi anggota DPR untuk membahas semua RUU itu tetap sama.

Instrumen disinsentif

Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, tidak ada kata lain kecuali menghentikannya. Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam Negeri, dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat daerah, bukan segelintir elite politik.

Syarat-syarat yang disebutkan PP No 78/2007 sebenarnya sudah ketat. Daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus punya 5 kabupaten/kota, kabupaten punya 5 kecamatan, dan kota punya 4 kecamatan. Usulan mesti didukung dua pertiga dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Sebaliknya, peraturan ini mendorong penggabungan daerah jika terjadi penurunan kualitas pelayanan. Maka, kini tinggal niat pemerintah untuk menegakkan peraturan ini. Syarat minimum jumlah penduduk harus dipertimbangkan bagi setiap usulan pemekaran yang masuk DPOD. Yang jauh lebih penting adalah agar anggota DPR jangan justru ikut menyiasati atau menerobos aturan yang telah disepakati.

Instrumen lain yang cukup mudah adalah dana perimbangan. Selama ini, DAU selalu diberikan dengan proporsi berdasarkan status administratif. Selain tidak bisa mengatasi kesenjangan horizontal antardaerah, alokasi semacam ini akan terus mendorong pemekaran. Jika DAU diberikan secara netral, daerah pemekaran akan mendapat jumlah dana yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat dan elite lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri.

Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. Sebaliknya, warga perlu didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, seperti tingkat kemakmuran yang merata dan pelayanan publik yang efisien. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dimobilisasi elite politik daerah untuk aneka kepentingan sempit. Inilah pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.

Wahyudi Kumorotomo Dosen Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM

Minggu, 15 Februari 2009

Jurnal Republik Pemalang, 1945


by : Taufik Rahzen

Pemalang, kota yang berada di jalur utama pantai utara Jawa (Pantura), mengalami sejumlah fase sejarah yang menarik. Dari mulai hanya berstatus sebagai tanah perdikan pada masa Mataram, Pemalang juga mengalami undakan sejarah yang membara menyusul radikalisasi massa yang memakan tulah tak sedikit.

Letak geografis Pemalang sendiri unik. Jika ditarik garis dari utara ke selatan, tekstur geografis Pemalang berbentuk kurva yang makin lama makin naik. Di sebelah utara terdapat deretan pantai Laut Jawa dan di sebelah selatan menjulang dataran tinggi yang puncaknya berada di Gunung Slamet.

Jauh sebelum Pemalang menjadi tanah perdikan Mataram, kawasan ini sudah dihuni oleh masyarakat yang cukup teroganisir. Benda-benda arkeologis seperti punden berundak dan pemandian di Kecamatan Moga hingga patung Ganesa, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak menegaskan hal itu.

Kemunculan Pemalang dalam peta geopolitik di tlatah Jawa mulai terlacak ‘“setidaknya‘”sejak abad 17. Catatan yang ditinggalkan Rijklof Van Goens memberi petunjuk mengenai Pemalang. Di sana disebutkan bahwa bersama 14 daerah lainnya, Pemalang merupakan salah satu daerah yang tak tersentuh oleh dinasti politik mana pun di Jawa.

Pemalang mulai masuk dalam konstelasi geopolitik tlatah Jawa setelah pendiri dinasti Mataram, Penambahan Senopati, berhasil menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya merdeka itu, termasuk Pemalang. Semenjak itulah Pemalang menjadi tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang pangeran atau kerabat Sultan. Orang yang ditunjuk memerintah tanah perdikan itu tidak menetap di tanah yang dipimpinnya, tetapi tetap tinggal di Kraton.

Struktur pemerintahan di Pemalang mulai menemukan bentuknya yang rapi semenjak kepemimpinan Raden Mangoneng atau Pangoneng sekira tahun 1622. Ketika itu Pangeran Purbaya ditunjuk oleh Mataram sebagai penguasa di Pemalang, kendati yang bersangkutan tetap tinggal di lingkungan kraton Mataram. Mangoneng dianggap sebagai salah satu tokoh yang paling sengit menentang VOC dan secara aktif membantuk proyek Sultan Agung menyerbu VOC di pusatnya sendiri: Batavia.

Fase ini mewariskan satu tradisi berupa seni bela diri “Krangkeng”. Seni bela diri ini muncul semenjak Pemalang terlibat dalam penyerangan Batavia pada masa Sultan Agung. Untuk keperluan itulah para pemuda banyak dilatih olah kanuragan yang biasa disertai tetabuhan. Dari sinilah Krangkeng muncul dan masih bertahan hingga sekarang.

Reputasi subversif pemimpin Pemalang yang sudah dirintis oleh Pangoneng diteruskan oleh Adipati Reksadiningrat yang memerintah hingga 1825, tahun dimulainya Perang Jawa. Ada kemungkinan Reksadiningrat diberhentikan dari jabatan Adipati (Bupati) karena keterlibatannya dengan Pangeran Diponegoro.

Usai Perang Jawa, Pemalang justru mencapai puncak keemasannya sebagai penghasil tanaman budi daya seperti padi, kopi, tembakau dan kacang. Pemalang, yang ketika itu berstatus sebagai kabupaten di bawah Karesidenan Pekalongan, mengalami kemakmuran yang melimpah ruah, terutama pada masa pemerintahan Bupati Sumo Negoro yang memerintah sejak 1832.

Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai pada Oktober 1945, Pemalang bersama Brebes dan Tegal (yang berada di wilayah Karesidenan Pekalongan) diguncang gerakan massa yang menggulingkan pemimpin-pemimpin administratif yang ditunjuk oleh Jakarta.

Massa radikal itu menolak kepemimpinan orang-orang yang dulu dianggap banyak bekerjasama dengan Belanda dan kemudian Jepang. Radikalisasi massa ini mulai mengalami kemunduran sejak akhir Desember 1945 setelah Jakarta mengirim TKR untuk mengatasi dan menangkap para pemimpin dari gerakan massa ini.

Selama proses sejarah yang panjang ini, pusat pemerintahan Pemalang berpindah sebanyak tiga kali. Pusat pemerintahan Pemalang yang pertaa berada di Desa Oneng. Selanjutnya berpindah ke daerah Ketandan. Pusat pemerintahan yang ketiga berada di sekitar alun-alun Pemalang sekarang.