Senin, 17 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas

KOMPAS cetak - Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas: "Pemungut Pajak Rokok Tidak Jelas"

KOMPAS cetak - Kabar Buruk dari Otonomi Daerah

KOMPAS cetak - Kabar Buruk dari Otonomi Daerah: "Kabar Buruk dari Otonomi Daerah"

[[ batik indonesia info ]] » 2003 » April

[[ batik indonesia info ]] » 2003 » April: "Kain Tradisional: Yang Beragam dan Terancam Punah"

Republic Megono

Republic Megono: "Antara Kang Jasir dan Mas Jaman"

Republic Megono

Republic Megono: "Pansus setujui renovasi Pasar Kajen"

Republic Megono: November 2007

Republic Megono: November 2007: "Dari Pekajangan, Batik Pekalongan Berbicara"

Republic Megono: November 2007

Republic Megono: November 2007: "Pasar Tradisional Bergaya Modern
SUDAH BERSIH, BELANJA APA PUN TERSEDIA
Pasar Kajen Kudu Niru Pasar Sing Koyo Kiye"

Minggu, 16 Agustus 2009

Jumat, 14 Agustus 2009

Selasa, 11 Agustus 2009

UANG NEGARA


Rp 600 Triliun di Daerah Berbahaya

Rabu, 12 Agustus 2009 | 04:35 WIB

Jakarta, Kompas - Pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah mengarah pada kondisi yang membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Padahal, sekitar 60 persen atau Rp 600 triliun dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disalurkan ke daerah.

Pengelolaan yang membahayakan ini karena laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapat opini terburuk dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin bertambah. Sebaliknya, jumlah LKPD dengan opini terbaik dari BPK terus merosot.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Selasa (11/8), saat berbicara dalam Rapat Kerja Nasional Akuntansi Tahun 2009.

Perkembangan yang membahayakan itu terlihat dari hasil audit BPK atas LKPD tahun 2004 dan dibandingkan dengan tahun 2007 serta 2008. Jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) justru menurun dari 21 daerah pada tahun 2004 menjadi 8 daerah tahun 2008. WTP merupakan opini terbaik dari BPK.

Adapun jumlah LKPD yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian juga turun dari 249 daerah tahun 2004 menjadi 137 daerah tahun 2008. Opini ini setingkat lebih rendah dari opini WTP.

Akan tetapi, LKPD yang mendapatkan opini tak memberikan pendapat (disclaimer) justru naik dari 7 daerah tahun 2004 menjadi 120 daerah tahun 2007. Opini BPK ini menunjukkan banyaknya masalah pada LKPD.

”Lebih buruk lagi, LKPD yang mendapatkan opini adverse atau tidak wajar malah naik dari 10 daerah tahun 2004 menjadi 59 daerah tahun 2007. Kecenderungan berbahaya. Memperlihatkan sikap pemerintah daerah yang tak memberi perhatian pada pengelolaan keuangan negara yang baik,” ungkap Sri Mulyani.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, kondisi LKPD sangat mengkhawatirkan karena buruknya laporan keuangan bisa memengaruhi persepsi calon investor yang berniat menanamkan modal di daerah tersebut. Apalagi pemerintah daerah sudah diperkenankan menerbitkan obligasi untuk menambah sumber pembiayaan APBD mereka.

”Bagaimana obligasi kalian (pemerintah daerah) itu bisa ada yang beli kalau laporan keuangannya tidak beres?” ujarnya.

Kondisi itu mengkhawatirkan karena dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN, sekitar 60 persennya dialirkan ke daerah. Sebagai contoh, dari total anggaran belanja negara pada APBN Perubahan 2009 senilai Rp 1.005,7 triliun, sebesar 60,2 persen mengalir ke daerah melalui berbagai saluran.

Pertama, lewat program nasional (bantuan langsung tunai, Program Nasional Masyarakat Mandiri) Rp 35 triliun. Kedua, lewat anggaran pemerintah pusat (subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk) Rp 140 triliun.

Ketiga, melalui anggaran transfer ke daerah (seperti dana alokasi umum dan dana bagi hasil) Rp 309,6 triliun. Keempat, lewat program kementerian dan lembaga nondepartemen (antara lain dana dekonsentrasi, tugas pembantuan) Rp 120,6 triliun.

Turunkan kepercayaan

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, buruknya hasil audit atas LKPD tersebut bisa menurunkan kepercayaan diri pemerintah daerah atas kemampuannya mengelola keuangan. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya keengganan, bahkan ketakutan, menggunakan keuangan daerah yang berimplikasi pada turunnya penyerapan anggaran.

Transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah pun bisa terhambat. Contohnya, transfer dana alokasi khusus (DAK) tidak akan dilakukan sebelum penggunaan DAK periode sebelumnya dilaporkan atau tak dipakai.

Pada akhirnya, kualitas program yang dirancang pemerintah daerah akan kian rendah. Atas dasar itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah memperkuat sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Misalnya, diawali dengan evaluasi atas pelatihan keuangan daerah yang sudah menghasilkan lulusan tenaga pembukuan.

”Misalnya, apakah keterampilan yang diperoleh para lulusan itu bisa diimplementasikan. Sebab, rotasi jabatan sering kali pada rentang waktu yang pendek sehingga belum ada transfer pengetahuan dan keterampilan. Lalu, perlu ada penguatan peran aparat pengawasan daerah (Bawasda). Adapun pemerintah pusat perlu memberikan bantuan pelatihan,” ujar Agung.

Pengamat otonomi daerah dari Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, menegaskan, buruknya LKPD sangat mengkhawatirkan karena tata kelola keuangan menjadi semakin buruk. Itu pun tidak konsisten dengan semangat pemilihan kepala daerah langsung yang mengedepankan tata kelola keuangan yang baik.

Pemerintah pusat harus menyiapkan mekanisme sanksi, yakni dengan mengurangi atau menahan DAK hingga daftar isian pelaksanaan anggaran. ”Selain itu, pemerintah jangan segan-segan mengumumkan daerah-daerah yang tidak berprestasi itu,” ujarnya. (OIN)

Sabtu, 08 Agustus 2009

HIBAH Aset Menganggur Diserahkan kepada Daerah


Sabtu, 8 Agustus 2009 | 05:25 WIB

Jakarta, Kompas - Aset-aset negara yang tidak terpakai akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini untuk mencegah kerusakan aset dan pemanfaatannya maksimal.

Daerah yang pertama kali mendapatkan hibah aset fisik adalah Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berupa tiga turbin gas eks PT Pertamina (Persero) plus aset tanah senilai Rp 71,785 miliar. Fasilitas ini dapat memenuhi 40 persen kebutuhan listrik di daerah itu.

”Ini penyerahan hibah fisik aset negara pada daerah yang pertama. Kami sudah meminta kementerian dan lembaga nondepartemen menginventarisasi aset-aset menganggur di lembaganya. Mereka melaporkan tidak ada yang menganggur. Namun, hasil penelusuran kami menunjukkan ada aset yang tak terpakai,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan, Hadiyanto di Jakarta, Jumat (7/8).

Ia menjelaskan, aset yang digolongkan menganggur adalah jika dalam empat tahun berturut- turut tidak dimanfaatkan lembaga yang bertanggung jawab mengelolanya. Aset-aset itu wajib dikembalikan ke negara dan pemanfaatannya diarahkan ke lembaga lain.

”Aset di pemerintah daerah yang tidak dipakai dalam empat tahun juga wajib dikembalikan kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, sesuai kontrak hibah pada tiga turbin gas itu, jika dalam empat tahun tidak dimanfaatkan, harus dikembalikan kepada pemerintah pusat,” ujar Hadiyanto.

Selain tiga turbin, pemerintah pusat juga memberikan tanah seluas 6,64 hektar yang merupakan lokasi ketiga turbin gas tersebut kepada Pemprov NAD. Nilai ketiga turbin itu Rp 65,67 miliar, sedangkan nilai tanah Rp 6,115 miliar.

Kebutuhan listrik

Menurut Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, tiga turbin yang dihibahkan itu dapat memenuhi kebutuhan listrik 40 MW dari 100 MW kebutuhan listrik di Aceh.

Kekurangan daya 60 MW masih dipasok dari Sumatera Utara. Padahal, Sumut juga masih kekurangan pasokan listrik.

”Kami sangat berharap ada tiga proyek pembangkit listrik yang bisa segera dimulai tahun 2010, yakni pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 200 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi 60 MW, dan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 200 MW,” kata dia.

Ketiga turbin gas yang dihibahkan pemerintah pusat itu pengelolaannya akan diserahkan kepada PT Bumi Terang Nanggroe Aceh, perusahaan swasta yang ditunjuk Pemprov NAD.

Awalnya, ketiga turbin gas itu dipakai untuk memasok listrik pabrik pengolahan LPG anak perusahaan Pertamina, yakni PT Arun NGL. Namun, sejak tahun 2000, ketiga turbin itu tak dipakai lagi seiring berhentinya produksi LPG.

”Sejak tsunami (26 Desember 2004), banyak aset pemerintah pusat yang tidak terpakai, antara lain 12 lapangan udara,” kata Irwandi. (OIN)

PAJAK Ongkos Parkir Bakal Naik


Sabtu, 8 Agustus 2009 | 04:02 WIB

Jakarta, Kompas - Ongkos parkir bakal lebih mahal karena mulai 1 Januari 2010 tarif pajak parkir naik, yaitu dari maksimal 20 persen menjadi maksimal 30 persen. Besaran kenaikan tarif pajak parkir itu bergantung pada keputusan pemerintah kabupaten atau kota.

”Selain menaikkan tarif pajak parkir, kami juga mempertegas pembagian retribusi parkir yang bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah di tingkat kabupaten atau kota,” ujar Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) Harry Azhar Azis di Jakarta, Jumat (7/8).

Dijelaskan, untuk menambah ketertiban perparkiran, aturan pajak parkir dibedakan dengan retribusi parkir.

Pajak parkir dipungut di lokasi tertentu, misalnya perkantoran atau gedung, yang dikelola badan usaha tertentu.

Adapun retribusi parkir dikelola oleh pemerintah kabupaten atau kota, yaitu untuk lahan-lahan parkir kendaraan bermotor yang ada di pinggir jalan umum, yang selama ini sering kali dikelola oleh orang tertentu.

Dalam RUU PDRD disebutkan, obyek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, yang disediakan sebagai tempat usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan.

Bukan obyek pajak

Ada empat kelompok tempat parkir yang tidak tergolong obyek pajak. Pertama, tempat parkir yang disediakan pemerintah dan pemerintah daerah.

Kedua, tempat parkir di perkantoran khusus untuk karyawan kantor itu. Ketiga, tempat parkir di kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik. Keempat, tempat parkir lain yang ditetapkan peraturan daerah.

Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Hariyadi Sukamdani, kenaikan tarif pajak parkir makin membuka peluang terjadinya penyimpangan.

Peluang kenaikan tarif pajak parkir hingga maksimal 30 persen, ujar Hatiyadi, semestinya dibarengi dengan pembenahan sistem manajemen keuangan.

”Kalau tidak, itu artinya pemerintah pusat membiarkan korupsi merajalela. Penerimaan pajak dari bisnis perparkiran semestinya diaudit ketat,” ujarnya.

Kebijakan perparkiran selama ini terkesan angin-anginan. Di Jakarta, misalnya, belum lama ini dilakukan penguncian roda kendaraan bagi pengemudi yang tidak mematuhi aturan parkir di jalan. Namun, kebijakan ini hilang dalam sekejap.

”Kenaikan pajak parkir semestinya dibarengi sikap bertanggung jawab pengelola perparkiran, apabila kendaraan yang diparkir dibongkar maling,” demikian dikatakan Hariyadi Sukamdani. (OIN/OSA)

Kamis, 06 Agustus 2009

Pajak Daerah Dibatasi


Rabu, 5 Agustus 2009 | 04:11 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah daerah tidak lagi leluasa menciptakan pajak dan retribusi baru yang merusak iklim investasi. Mulai 1 Januari 2010, setiap pungutan harus mengacu daftar tertutup dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

”Sistem yang ditetapkan bersifat daftar tertutup, artinya daerah hanya diperbolehkan memungut pajak dan retribusi sesuai undang-undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah, mencari, atau berkreasi yang tidak baik dalam arti mencari-cari penghasilan asli daerah,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (4/8).

Menkeu menyampaikan hal itu dalam Rapat Kerja dengan Panitia Khusus RUU PDRD yang mengagendakan pandangan fraksi mini atas RUU tersebut.

Seluruh fraksi yang ada di DPR menyetujui agar RUU yang sudah dibahas sejak Maret 2006 itu disahkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR.

Dalam RUU PDRD tersebut disebutkan lima jenis pajak yang diperbolehkan di level provinsi adalah pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok. Pajak rokok adalah pungutan baru yang disetujui seluruh fraksi.

Adapun sebelas jenis pajak untuk kabupaten dan kota adalah pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, dan pajak mineral bukan logam serta batuan.

Selain itu, pajak parkir, air tanah, sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Semula PBB dan BPHTB berada di bawah pemerintah pusat.

Dampak negatif

Menurut Sri Mulyani, dengan adanya tambahan jenis pajak tersebut, kekuatan daerah yang menghimpun penerimaan pajak menjadi semakin besar.

Meskipun demikian, penambahan jenis pajak dan retribusi ini bisa berdampak negatif bagi perekonomian daerah apabila tidak ada pengawasan yang efektif, terutama dari pemerintah pusat.

”Atas dasar itu, saya bersama Menteri Dalam Negeri akan membuat mekanisme pengawasan yang lebih efisien, baik dalam kecepatan maupun sosialisasi pada daerah,” ujarnya.

Pengawasan yang dilakukan Departemen Keuangan dan Depdagri saat ini dilakukan dengan mengevaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah lama.

Ranperda dan perda berisi pungutan yang mengganggu iklim investasi akan direkomendasikan untuk dicabut. Mekanisme ini akan dipertahankan setelah RUU PDRD disahkan menjadi UU.

Juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nursanita Nasution, mengatakan, kewenangan daerah atas perpajakan harus diikuti peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa mengatakan, munculnya pajak daerah akan menambah jumlah pungutan di daerah. ”Ini akan membuat tahun 2010 semakin marak dengan pajak,” ujarnya. (OIN)