Kamis, 25 Desember 2008

Otonomi Daerah


Pemekaran Lagi, Lagi, dan Lagi...
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:27 WIB

Buku pelajaran sekolah harus kerap direvisi jika mencantumkan jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sampai dengan pertengahan Desember ini, Indonesia saat ini terdiri atas 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota.

Jumlah itu belum termasuk dengan 5 kota dan 1 kabupaten administratif di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Namun, siapa bisa menjamin jumlah itu akan bertahan lama?

Faktanya, pemekaran amat marak terjadi pasca-era reformasi. Sejak tahun 2007 saja ada penambahan 57 kabupaten/kota. Yang terbaru, dua kabupaten baru disepakati lagi dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (19/12), menyambung persetujuan 12 daerah otonom baru pada 29 Oktober 2008.

Tak ayal, selepas rapat paripurna, seorang anggota Komisi II DPR hanya bisa geleng-geleng kepala. Pasalnya, jika mau tegas-keras-kaku sesuai dengan aturan baku, bisa jadi hanya dua daerah otonom yang lolos pada gelombang-pemekaran kali ini.

Sebenarnya, ”paket” RUU yang dibahas Komisi II DPR bersama pemerintah dalam dua masa persidangan terakhir sebanyak 17 RUU; dengan rincian, 2 RUU pembentukan kabupaten yang belum selesai dibahas sebelumnya, 14 RUU pembentukan kabupaten/kota, dan 1 RUU pembentukan provinsi baru.

Dalam dua masa persidangan DPR terakhir, penentuan calon daerah baru diputuskan lewat lobi. Proses politik akhirnya lebih menentukan ketimbang kelayakan teknis dengan serangkaian parameter.

Terjadi tarik ulur menyangkut nasib sejumlah calon daerah baru sehingga akhirnya persetujuan mesti melalui proses panjang. Pengambilan keputusan tingkat pertama dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri untuk menentukan nasib calon daerah baru terpaksa berjalan sampai dini hari.

Pada akhir Oktober lalu, Kabupaten Tambrauw bisa lolos setelah DPR menerima klarifikasi surat Gubernur Papua Barat mengenai cakupan wilayah calon kabupaten baru itu.

Sementara dalam rapat pada pertengahan Desember lalu, ada fraksi yang berkeras seluruh lima RUU disetujui, sementara pemerintah dan sebagian fraksi tetap kukuh bahwa hanya Maybrat dan Meranti yang memenuhi syarat. Namun, akhirnya Maybrat lolos.

Ketidakpuasan mengiringi ”kesepakatan” persetujuan daerah baru itu. Misalnya saja, Wakil Ketua Komisi II DPR Eka Santosa (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sempat menyoal inkonsistensi.

Pasalnya, pada pertengahan Oktober, Kepulauan Meranti tidak diloloskan berhubung persetujuan Gubernur dianggap tidak ”sah” karena prosedurnya tidak sesuai keputusan Menteri Dalam Negeri.

Sebaliknya, ada calon daerah yang disetujui sekalipun usia penyelenggara pemerintahan daerah induk tidak sesuai batasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan induk dari Kabupaten Morotai baru berusia 5 tahun, sementara usia minimal penyelenggaraan pemerintahan mestinya 7 tahun. ”Unsur politis sangat kuat, bahkan sampai elite di Jakarta,” sebut Eka.

Terus terjadi

Apa pun, 14 daerah baru sudah resmi terbentuk lagi dalam dua persidangan DPR terakhir. Bahkan, Ketua DPR Agung Laksono (Fraksi Partai Golkar) seusai lobi yang berlangsung sekitar 1,5 jam pada Jumat (19/12) menyampaikan kesepakatan DPR bahwa usul pembentukan Provinsi Tapanuli, Kota Brastagi, dan Kabupaten Mandau diserahkan kepada Komisi II untuk terus memprosesnya.

Nasib Provinsi Tapanuli terkendala belum adanya sikap DPRD Provinsi Sumatera Utara, sementara calon Kota Brastagi di Sumatera Utara dan Kabupaten Mandau di Riau masih belum memenuhi jumlah minimal kecamatan untuk membentuk kabupaten/kota baru hasil pemekaran.

Jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan bertambah lagi.

Terdapat 17 RUU pembentukan provinsi/kabupaten/kota yang masih dalam ”daftar tunggu”, yaitu menunggu surat Presiden mengenai penugasan menteri untuk membahasnya bersama DPR. Ke-17 RUU itu antara lain adalah soal pembentukan lima calon provinsi baru. Namun, syarat administratif ke-17 RUU tersebut masih belum lengkap. Misalnya, calon Kabupaten Morowali Utara masih belum ada persetujuan Bupati Morowali dan Gubernur Sulawesi Tengah.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, menilai tidak ada kesamaan persepsi dan kepentingan antara pihak legislatif dan eksekutif menyangkut pemekaran. Syarif menyebutkan, persetujuan pemekaran sarat dengan kepentingan politik jangka pendek. Dengan masa jabatan anggota DPR tinggal setahun lagi, tidak tertutup kemungkinan ada politik maksimalisasi-waktu.

Sisa masa jabatan adalah kesempatan yang mesti dimaksimalkan. Kemungkinan lain adalah ketika pihak eksekutif nyaris tidak berdaya berhadapan dengan legislatif yang menginisiasi mayoritas RUU pembentukan daerah baru. Padahal, instrumen menilai kelayakan lebih dikuasai oleh pihak eksekutif. ”Apa ini gejala pelapukan lembaga politik kita? Ini sangat mengkhawatirkan kalau bukan hanya fenomena sesaat,” sebut Syarif.

Syarif mengingatkan, mestinya masa depan daerah hasil pemekaran menjadi pertimbangan utama. Yang terasa, kesan pemaksaan sangat kental dalam setiap pembahasan RUU pemekaran. Padahal, ketika suatu daerah belum layak mekar, justru daerah itu sendiri yang terancam bahaya. Keuangan negara akan terbebani karena daerah baru hanya bisa ”menyusu” ke pusat.

Selain itu, kemampuan kelembagaan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari mestinya jadi pertimbangan. Perilaku penyelenggara bisa jadi malah menjerumuskan pemekaran menjauh dari tujuan sebenarnya. Misalnya saja, ada anggapan bahwa pemekaran akhirnya malah menjadi perluasan kantong korupsi. ”Boleh saja pemekaran, tapi mbok ya dipersiapkan secara matang,” saran Syarif. (SIDIK PRAMONO)

Urgensi Moratorium Pemekaran Daerah


Aloysius Gunadi Brata

Pemerintah baru saja menyetujui pemekaran dua kabupaten.

Kedua kabupaten baru itu adalah Kabupaten Maybrat (Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Ke- pulauan Meranti (Provinsi Riau). Maka, total daerah di Indonesia jadi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota (Kompas, 22/12).

Para penggagas pemekaran daerah tentu menyambut antusias pengesahan itu, terlebih bila hal itu didasarkan motivasi memburu rente ekonomi dan kekuasaan politik. Namun, karena pemekaran selama ini tak kunjung menghasilkan ”buah” yang berkualitas, amatlah krusial untuk menghentikan atau setidaknya memoratorium munculnya daerah-daerah otonom baru (DOB).

Bertolak belakang

Sikap pemerintah pusat yang begitu akomodatif terhadap gagasan (atau desakan politisi) soal pemekaran, sebenarnya bertolak belakang dengan temuan dan hasil kajian yang dilakukan sendiri.

Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 yang dilakukan Bappenas dan UNDP (Juli 2008) menyarankan agar keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan amat hati-hati.

Disebutkan, diperlukan masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah selesai—bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan—baru dilakukan evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan.

Kenyataannya, jangankan mendesakkan urgennya masa persiapan sebelum daerah baru dibentuk, pemerintah justru terkesan tidak bisa menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal, studi Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal ini. Pasalnya, secara umum, kondisi DOB masih tertinggal dari daerah induk (dan daerah kontrol/’sebanding’) meski pemekaran telah berjalan lima tahun.

”Menyerahnya” pemerintah pusat terhadap desakan pemerintah daerah mungkin dipandang sebagai upaya politik untuk merebut hati daerah, hal yang penting untuk menjadi salah satu modal memenangi pemilu mendatang. Politisi, dalam hal ini legislatif, memiliki kepentingan politik yang tidak jauh berbeda. Sementara itu, di daerah, pemekaran terkait kepentingan politik-ekonomi elite lokal tampak dari sejumlah studi politik lokal di Indonesia (Nordhold & Klinken 2007, eds).

Nasib rakyat

Dalam kondisi semacam itu, tentu amat sulit berharap adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat ataupun kualitas pelayanan publik di DOB. Disertasi Riatu Mariatul Qibthiyyah (2008) dari Andrew Young School of Policy Studies (Georgia State University) juga memberi indikasi demikian. Analisisnya menemukan, dampak pemekaran di Indonesia tidak seragam di antara daerah-daerah yang terpengaruh (seperti DOB dan daerah induk).

Perbedaan dampak ini lalu menguatkan pendapat, pemekaran hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu, sementara daerah yang lain tertinggal. Berdasarkan evaluasi Depdagri, November 2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin (Kompas, 22/12).

Dengan demikian, pemekaran daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas-UNDP menemukan, pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB sehingga DOB menjadi tempat pemusatan penduduk miskin.

Tentu saja hal ini membuat perbedaan kesejahteraan kian parah antara daerah induk dan DOB. Jika ada yang mengalami peningkatan kesejahteraan, itu tidak lain hanya segelintir elite lokal yang terkait elite pusat dan dalam beberapa kasus dapat juga dengan korporasi-korporasi bisnis multinasional (Brata, 2008).

Padahal, pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah sering menjadi argumen utama pemekaran daerah. Namun, yang terjadi justru pemusatan ketertinggalan secara spasial dan peningkatan ketimpangan antarwarga di daerah baru.

Pengalaman menunjukkan, ketimpangan sosial-ekonomi merupakan salah satu penjelas penting konflik sosial yang terjadi di sini. Ironis bila pemekaran di satu sisi tak memperbaiki kualitas pelayanan publik tetapi justru menguatkan bibit-bibit konflik sosial yang akan kian bernuansa lokal.

Maka, tidak salah bila pembentukan daerah baru benar-benar dipertimbangkan matang, bila perlu dihentikan, setidaknya dimoratorium agar tidak menjadi bumerang pada kemudian hari.

Aloysius Gunadi Brata Dosen Prodi Ilmu Ekonomi, FE-UAJ, Yogyakarta


Sudah Empat Calon Independen Menang, Siapa Menyusul


TEMPO Interaktif, Jakarta: Jumlah calon independen memenangkan pemilihan kepala daerah terus bertambah. Setelah Irwandi Yusuf sukses merebut kursi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, keberhasilan serupa disusul calon perorangan di Rote Ndou, Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, dan Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Dalam pemilihan Bupati Rote Ndou beberapa waktu lalu pemenangkan adalah pasangan nonpartai yaitu Christian N Dillak, SH- Zacharias P Manafe. Pasangan ini mengalahkan calon independenn lain yaitu Leonard Haning MM-Drs Marthen L Saek.

Sedangkan pasangan kalah yang diusung partai adalah Marthen L. Henukh-Junus Famggidae dari PDI Perjuangan, pasangan Alfred H.J Zacharias-Steven A Mbatemooy diusung empat partai, kemudian pasangan diusung koalisi 8 partai Bernard E Pelle-Nur Yusak Ndu Ufi, serta pasangan diusung dua partai David Detaq-Yonis Messah.

Belum lama ini, tepatnya 18 Oktober 2008, pasangan independen O.K. Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar berhasil merebut kursi Bupati dan Wakil Bupati Batubara, Sumatera Utara.

Kemenangkan O.K. Arya Zulkarnain didorong oleh ketokohannya memperjuangkan pemekaran Kabupaten Batubara dari Kabupaten Asahan. Pasangan ini mengalahkan calon dari partai politik yang berjumlah tujuh pasang.

Calon independen yang masih gres memenangkan pemilihan kepala daerah yaitu pasangan Aceng Fikri-pemain sinetron Raden Dicky Chandra sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut, Jawa Barat. Mereka mengalahkan pasangan Rudi Gunawan dan Oim Abdurohim yang diusung Partai Golkar dan PDI Perjuangan.

Berkat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peruabahan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007, yang menerima gugatan Lalu Langgalawe, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dearah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sejak itu calon independen diakomodasi dalam ajang pemilihan bupati, wali kota, sampai gubernur.

ELIK S

Minggu, 21 Desember 2008

Pemekaran Daerah Tak Berhenti


Perlu Regulasi Kuat guna Mengatur

Jakarta, Kompas - Pembentukan daerah baru hasil pemekaran tidak akan berhenti jika tidak ada ketegasan dengan terus menuruti aspirasi daerah. Dibutuhkan regulasi yang kuat untuk mengatur pemekaran, termasuk pengaturan bagi DPR dan pemerintah sehingga bisa meloloskan calon daerah baru.

Untuk mengerem pemekaran, juga harus ada instrumen yang memastikan rakyat bisa mendapatkan akses pelayanan publik dengan mudah.

Pandangan itu disampaikan pengajar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bambang Purwoko, di Jakarta, Sabtu (20/12).

Menurut Bambang, berbagai alasan mendasari gairah pemekaran daerah, misalnya saja ketidakpuasan terhadap kepala daerah atau dampak pemilihan kepala daerah. Akibatnya, tidak terhindarkan ada daerah yang sekadar menjadi kumpulan subetnis tertentu seperti ditemukan di sejumlah daerah baru di Sumatera Utara.

Bambang menilai, regulasi pemekaran masih terlalu mudah ditembus. Mestinya, soal pemekaran diatur ketat dalam bentuk undang-undang yang dikaitkan dengan strategi nasional menyangkut penataan daerah. Terkait dengan pemekaran yang telanjur tak terbendung, Bambang menyarankan adanya penguatan pemerintahan di tingkat kecamatan atau distrik yang langsung menangani pelayanan publik.

Bambang juga menilai tidak mungkin menggabungkan kembali daerah hasil pemekaran. Yang paling mungkin dilakukan adalah pembinaan terhadap daerah bersangkutan. ”Pembinaan itu bukan sekadar membikin peraturan,” ujar Bambang.

Dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (19/2), DPR bersama pemerintah menyetujui lagi dua daerah baru hasil pemekaran, yaitu Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Kepulauan Meranti di Provinsi Riau. Dengan tambahan tersebut, total terdapat 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota di seluruh Indonesia.

Juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, Khaidir M Wafa, yang menyampaikan pendapat akhir fraksinya dalam rapat paripurna Jumat lalu menyebutkan, pemekaran tidak terbendung lagi justru ketika sejak 2005 hampir semua pemangku kepentingan menyerukan moratorium pemekaran. Evaluasi Departemen Dalam Negeri, November 2006-Maret 2007, pemekaran cenderung menurunkan rasio pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Sebelumnya, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, menilai, pertumbuhan daerah otonom baru di Indonesia sudah dalam taraf cukup mencengangkan. (dik)

Selasa, 16 Desember 2008

Demokrasi di Sulawesi Barat


Wapres Jusuf Kalla meminta Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh kembali ke daerah dan menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.

Itulah pesan Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar yang disampaikan oleh Adnan kepada pers. Adnan didampingi Ketua DPRD Sulawesi Barat Hamzah Hapati Hasan mendatangi Kalla untuk melaporkan pemecatan dirinya selaku gubernur oleh Rapat Paripurna DPR Sulawesi Barat.

Rapat Paripurna DPRD mengusulkan pemberhentian Gubernur Anwar Adnan Saleh dan Wakil Gubernur Amri Sanusi. Rapat Paripurna DPRD itu dihadiri 19 dari 35 anggota DPRD, 14 anggota DPRD Fraksi Partai Golkar, termasuk Ketua DPRD, tidak hadir.

Pasangan Adnan dan Amri ditetapkan sebagai pemenang pilkada pada 28 Agustus 2006 dengan perolehan 220.076 (45,7 persen) suara. Sempat dilakukan penghitungan suara ulang di dua kecamatan, tetapi karena tuduhan terjadi kekeliruan data tidak terbukti, pasangan Adnan-Amri tetap ditetapkan sebagai pemenang pilkada.

Rapat Paripurna DPRD itu berawal dari putusan Pengadilan Negeri Polewali Mandar, 17 Oktober 2006, yang memutuskan anggota tim kampanye Adnan, M Nasir Satar, melakukan politik uang dan dihukum denda Rp 3 juta. Nasir tidak banding atas putusan itu.

Atas putusan PN Polewali, KPU meminta fatwa MA. Ketua MA Bagir Manan dalam fatwanya antara lain mengatakan: ”... berhubung pelanggaran money politics sesudah ditetapkannya pemenang pilkada tidak diatur dalam perundang-undangan, maka sebaiknya tata cara pemberhentiannya mengikuti ketentuan undang-undang....”

Kita tak ingin konflik politik di Sulbar berkembang makin kompleks. UU No 34/2004 membuka ruang untuk pemberhentian seorang kepala/wakil kepala daerah oleh DPRD, di antaranya jika terjadi krisis kepercayaan yang meluas dan enam sebab lainnya. Namun, dalam UU itu tidak disebutkan pemberhentian kepala daerah yang disebabkan praktik politik uang yang dilakukan tim kampanyenya. Pihak Adnan telah membantah bahwa Nasir Satar adalah bagian dari tim kampanye mereka.

DPRD punya hak mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, kita berharap prosedur demokratis yang telah disepakati undang-undang diikuti. Dalam cara pandang itu, usul DPRD kepada Presiden perlu direspons oleh Presiden. Presiden dalam hal ini Mendagri akan menilai apakah prosedur pengusulan pemberhentian kepala daerah sudah sesuai dengan undang-undang? Respons Presiden bisa saja menerima atau menolak usulan itu!

Dalam pendekatan legalistik, kita menggarisbawahi permintaan Wapres agar Adnan tetap menjalankan tugas pemerintahan. Kita tak ingin pelayanan publik terabaikan. Bukankah hadirnya pelayanan publik yang prima, hadirnya kesejahteraan rakyat, adalah bentuk nyata hadirnya sebuah kekuasaan yang melayani!

Minggu, 14 Desember 2008

BPHTB Jadi Penerimaan Daerah


Jakarta, Kompas - Penerimaan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan demikian, daerah mendapat tambahan sumber penerimaan asli daerah.

”Keputusan finalnya ditetapkan dalam Panitia Kerja Amandemen Undang-Undang PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Ini hasil dari forum lobi antara pemerintah dan Panitia Khusus Amandemen UU PDRD untuk mempercepat penyelesaian UU ini,” ujar Ketua Panitia Khusus Amandemen UU PDRD, Harry Azhar Azis, pekan lalu di Jakarta.

Sebelumnya, DPR juga telah menyetujui penyerahan seluruh penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pedesaan dan perkotaan.

”Adapun PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan tetap menjadi penerimaan pemerintah pusat,” ujarnya.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB) adalah pungutan yang dihimpun pada saat terjadi transaksi jual beli tanah dan bangunan.

Data Ditjen Pajak menunjukkan, realisasi penerimaan BPHTB periode Januari-November 2008 mencapai Rp 4,528 triliun.

Adapun penerimaan PBB periode Januari-November 2008 mencapai Rp 20,426 triliun.

Stimulus investasi

Pengamat Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro, menegaskan, tanah dan bangunan layak dikelola sendiri oleh setiap daerah.

Atas dasar itu, daerah layak menerima hasil pungutan yang berbasiskan tanah dan bangunan, yakni PBB dan BPHTB.

Pengalihan hasil pungutan PBB dan BPHTB dibutuhkan oleh daerah untuk membiayai program-program yang dapat memberikan stimulus pada pengembangan investasi di wilayahnya.

Selain menerima hasil pungutan, menurut Bambang, daerah juga layak menjadi pihak yang menentukan kebijakan atas PBB dan BPHTB.

”Pihak pemungut PBB bisa tetap Ditjen Pajak, seperti sekarang. Namun, soal kebijakan, sebaiknya daerah yang menentukan, misalnya soal tarif PBB,” ujarnya.

Sebagai pemegang kebijakan, daerah diharapkan mengedepankan perbaikan iklim investasi dalam menetapkan tarif PBB. Daerah sebaiknya cenderung menurunkan tarif PBB agar dapat menarik minat investor ke wilayahnya.

”Dengan demikian, tarif pajak akan menjadi salah satu alat bagi daerah untuk bersaing dengan daerah lain memperebutkan investor,” ujar Bambang. (OIN)

Menyoroti Konflik Sejumlah Pilkada


Salah satu pilar otonomi daerah ialah kemandirian memilih pemimpin daerah melalui pilkada. Hanya, pilkada ini sarat konflik. Sebegitu urgenkah pilkada bagi kemajuan daerah? Berikut analisis peneliti The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) Dadan S. Suharmawijaya.

-----------

Di antara banyak hal yang memengaruhi kemajuan daerah, salah satunya adalah kebijakan publik yang dikeluarkan di daerah tersebut. Demikian pula penentuan kebijakan daerah dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, tergantung kepemimpinan di daerah itu. Di sini tampak benang merah antara kemajuan daerah dan pemilu kepala daerah (pilkada) secara langsung. Poin penting di dalamnya adalah peran kepala daerah dan proses pemilihan secara langsung.

Berdasar hasil studi implementasi Otonomi Daerah The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi sejak 2002, peran kepala daerah memang sangat menentukan. Baik dalam proses pembuatan kebijakan, inisiatif, maupun implementasi program-program inovatif di daerahnya.

Pada proses pembuatan kebijakan, misalnya, peran kepala daerah memiliki bobot yang paling tinggi, mencapai angka 73,7 persen. Bandingkan dengan peran dinas atau instansi pemda yang hanya memiliki peran 18,2 persen. Persentase selebihnya merupakan peran swasta dan masyarakat.

Demikian pula dalam hal inisiator program inovatif, peran kepala daerah cukup besar, yaitu mencapai bobot 30,1 persen. Angka tersebut memang berada di bawah bobot mesin birokrasi yang mencapai 48,4 persen. Sedangkan bobot inisiator selebihnya ada pada masyarakat, swasta, dan lembaga pemerintah maupun non pemerintah lainnya. Meski bobot terkait inisiator berada dibawar birokrasi, sebagai institusi yang tergantung personifikasi perorangan, hal itu sangat berarti.

Dengan demikian, dominasi peran yang begitu kuat dalam proses pembuatan kebijakan maupun inisiator program menjadikan kepala daerah sebagai figur sentral penentu kemajuan daerah. Konsekuensi dari kondisi itu menjadikan proses pemilihan kepala daerah sebagai hal penting pula. Karena itu, proses pemilihan secara langsung menjadi instrumen demokrasi yang paling tepat agar hak politik rakyat tidak terbajak.

Patut disayangkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung di sejumlah daerah di Indonesia ini ternyata sangat kurang. Berdasar pantauan JPPR di sejumlah pemilihan kepala daerah sejak 2005, rata-rata angka golput berkisar 45-50 persen. Demikian dikatakan Jerry Sumampaw dalam wawancara dengan Jawa Pos beberapa waktu lalu.

Kenyataan tersebut memperlihat adanya kesenjangan antara pentingnya peran kepala daerah dan kesadaran warga dalam memaknainya. Namun, Jerry menduga bahwa fenomena golput bisa jadi disebabkan kejenuhan rakyat atas konflik pilkada yang banyak muncul di berbagai daerah.

Konflik sebagai Fenomena Wajar

Maraknya konflik pilkada sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar. Hal itu mengingat jumlah pemilihan kepala daerah sama dengan jumlah daerah otonom di Indonesia. Yakni, 33 provinsi, 93 kota, dan 396 kabupaten. Setiap hari, setidaknya ada pemilu kepala daerah di Indonesia yang diadakan.

Setiap kontestan politik tersebut dipastikan menimbulkan konflik. Dengan jumlah pemilihan kepala daerah yang sedemikian banyak, praktis pemberitaan konflik setiap hari muncul di media massa. Negara sendiri sejak awal sudah mengantisipasi hal tersebut dengan memberikan kewenangan terhadap lembaga yudikatif sebagai ruang penyelesaian konflik pemilihan kepala daerah. Kewenangan itu sebelumnya ditangani Mahkamah Agung, belakangan kewenangan ini dialihkan ke Mahkamah Konstitusi.

Selain banyak even pilkada, konflik muncul karena penyelewengan atas pelaksanaan pilkada yang dianggap curang, melanggar, dan tidak fair. Ketidakpuasan biasanya diajukan oleh pihak yang dikalahkan dengan mengadukan penyelenggara pemilu (KPUD) yang memenangkan pesaing yang dinilai tidak jujur. Selebihnya, konflik lebih banyak disebabkan ketidakpuasan pendukung kandidat karena tidak memenangi pertarungan.

Kemenangan oleh para pendukung sendiri seharusnya dimaknai ulang tidak sekadar berhasil merebut kursi kekuasaan. Kemenangan bagi pendukung seharusnya dinyatakan ketika pasangan pemimpin kepala daerah yang mereka dukung sukses menyejahterakan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kemajuan daerah seharusnya dijadikan ukuran final kemenangan dalam pilkada. (mk/e-mail: dadan@jpip.or.id)

Sabtu, 13 Desember 2008

Menjaga Demokrasi di Jawa Timur


Pemilihan Gubernur Jawa Timur dinilai cacat di tiga kabupaten Madura. Kedua pihak mesti menahan diri.

BILA Anda tak percaya demokrasi dan menganggap otonomi daerah hanya beban bagi negeri ini, mari melihat pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Di provinsi itu, konflik pascapemilihan pada November lalu memang bisa terjadi kapan saja. Tapi, melihat proses penyelesaian perseteruan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk sementara, bolehlah kita berbesar hati. Bahwa politik di Indonesia, sejauh ini, bisa hadir dalam wujud yang santun, ramah, dan konstitusional.

Adalah pasangan calon gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono yang melapor kepada Mahkamah Konstitusi perihal kecurangan pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam pemilihan lalu. Khofifah dan Soekarwo adalah dua calon Gubernur Jawa Timur yang bertarung setelah mendapat suara teratas dalam pemilihan putaran pertama. Dalam pemilihan putaran kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan Soekarwo sebagai pemenang.

Khofifah memprotes karena menduga ada kecurangan di sejumlah tempat di Madura. Mahkamah lalu bersidang dan pekan lalu memutuskan pencoblosan harus diulang di Sampang dan Bangkalan paling telat 60 hari setelah palu hakim diketuk. Di Pamekasan penghitungan suara yang harus diulang.

Penghitungan ulang ini menjadi signifikan karena perbedaan suara kedua kandidat sangat tipis: 0,6 persen. Khofifah berharap, jika pemilihan ulang ini berlangsung adil, ia akan unggul.

Jika tak percaya pada demokrasi dan menganggap otonomi daerah hanya biang kerok, Anda tentu akan pesimistis dan mengatakan rusuh bisa terjadi kapan saja. Memang benar, amuk pendukung satu atau dua kandidat bisa meletus menjelang, pada saat, atau setelah pencoblosan ulang. Tapi kemungkinan sebaliknya bisa pula terjadi: sengketa itu selesai dengan damai, tanpa bentrok.

Optimisme ini bukan tanpa dasar. Proses penyelesaian sengketa membuktikan bahwa politik di Jawa Timur bisa dijalankan dengan transparan dan hati teduh. Mahkamah Konstitusi dalam dua pekan persidangan dengan adil memberikan kesempatan kepada kedua seteru untuk beradu bukti dan argumen. Kedua kandidat, juga publik melalui liputan media massa, bisa melihat bagaimana pembuktian dilakukan secara terbuka di depan meja hijau.

Kubu Khofifah, misalnya, membawa saksi ke sidang. Mereka memutar rekaman percakapan telepon aparat desa yang merencanakan kecurangan. Mereka juga menghadirkan saksi yang diminta main sabun.

Mahkamah yakin praktek curang terjadi. Di Sampang, pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf terbukti menggelembungkan suara. Di Pamekasan, panitia menggunakan formulir rekapitulasi yang tak standar karena hanya menyajikan rekap suara tiap desa dan bukan tiap tempat pemungutan suara. Kubu Soekarwo, untungnya, dengan legawa menerima putusan itu.

Proses yang sudah berjalan baik ini mesti dijaga. Kedua kubu mesti menahan diri agar pemilihan ulang berjalan lancar dan adil. Apalagi pemilihan ulang akan diselenggarakan tiga bulan sebelum pemilu legislatif 2009. Ricuh di Jawa Timur tentu akan berpengaruh pada penyelenggaraan pemilu nasional.

Siapa pun yang menang dalam pemilihan ulang nanti harus berlapang dada. Mereka yang curang harus dihukum. Kepala desa dan ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara yang memerintahkan pencoblosan tak halal harus diberi sanksi.

Pemilihan kepala daerah, sebagai perangkat demokrasi, harus dipelihara sebagai virtue atau kebaikan. Sengketa pemilihan tak boleh dibiarkan menjadi alasan bagi pembenci demokrasi untuk menyerang demokrasi.

Kamis, 11 Desember 2008

Dana Bergulir Harus Dipertanggungjawabkan


Jakarta, Kompas - Dana bergulir yang ditujukan untuk perkuatan permodalan koperasi dan usaha kecil dan menengah adalah dana investasi. Oleh karena itu, penyaluran dan pengaturannya harus jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Demikian disampaikan pengamat kebijakan publik Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, Kamis (11/12) di Jakarta.

Fadhil berpendapat, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99 Tahun 2008 tentang dana bergulir, yang mensyaratkan bahwa dana bergulir harus dikembalikan kepada negara, harus dipahami dalam konteks ada ketidakjelasan laporan keuangan. Ini yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan memberi pendapat disclaimer pada audit atas Kemennegkop dan UKM.

”PMK harus direview untuk sama-sama kembali melihat asas manfaat, tanpa harus menghalalkan segala cara. Dana bergulir harus dipahami sebagai dana investasi sehingga jelas pengaturannya. Dana ini bukan hibah,” ujar Fadhil. Sebelum ada PMK No 99/2008, dana bergulir tak perlu dikembalikan ke negara.

Keberadaan PMK No 99/2008 seharusnya tidak menjadi hambatan penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat krisis, UMKM butuh penguatan. Turunnya daya beli masyarakat, akibat semakin banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kondisi UMKM, yaitu dari usaha menengah bisa turun menjadi usaha kecil, dan yang kecil menjadi mikro.

”Ribuan pengangguran dampak dari krisis, mereka akan terpaksa memulai usaha dari usaha mikro,” tutur Fadhil.

Penopang

Krisis 1998 harus menjadi pelajaran bahwa UMKM mampu menjadi penopang perekonomian nasional. Oleh karena itu, hasil Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan Koperasi dan UKM menyimpulkan agar Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM dipertahankan.

Kesimpulan itu merupakan sikap terhadap UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara, yang mengelompokkan Kemennegkop dan UKM dalam ruang lingkup penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi sehingga bisa ditiadakan.

”Ini bukan deklarasi atau kebulatan tekad yang dapat bernuansa politis,” kata Sekretaris Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM Guritno Kusumo.

Menurut pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, uji materi terhadap UU No 39/2008 harus segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Ia berpendapat UU tersebut bisa menjadi salah satu agenda neoliberalisme yang berujung pada pembentukan pasar bebas. ”Kita patut pertanyakan komitmen pemerintah. Satu sisi membanggakan UMKM sebagai pilar ekonomi nasional, di lain sisi, posisi kementerian sebagai institusi pelindung UMKM tidak diprioritaskan,” katanya. (OSA)

2.665 Raperda dan Perda Dibatalkanssssss

s
Pemerintah Daerah Belum Sadar Krisis

Jakarta, Kompas - Sebanyak 2.665 rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah terkait aturan pajak dan retribusi dibatalkan oleh pemerintah pusat. Rancangan perda dan perda itu dinilai mengganggu iklim investasi, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dan tidak sejalan dengan aturan yang dibuat pemerintah pusat.

Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan (Depkeu) Mardiasmo mengungkapkan hal tersebut, Kamis (11/12) di Jakarta.

Dijelaskan, sejak tahun 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raperda). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi perda.

Adapun dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Perda tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

”Banyak aturan yang tidak sinergis dengan aturan di pusat. Pungutan yang diambil daerah cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini yang saya sinyalir otonomi menjadi auto money. Daerah berlomba-lomba menerapkan pungutan tanpa memerhatikan masalah lain,” tutur Mardiasmo.

Perda PDRD yang dibatalkan sebagian besar soal aturan pungutan. Dari 11.401 perda, 15 persen di antaranya di sektor perhubungan, 13 persen pertanian, 13 persen industri dan perdagangan, dan 11 persen kehutanan.

Perda yang paling banyak dibatalkan adalah yang berlaku di Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Pungutan yang ditetapkan di daerah, yang dinilai bermasalah, antara lain, adalah pajak pengolahan minyak yang tumpang tindih dengan aturan di pusat. Di pusat sudah ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri pengolahan minyak.

Contoh lain, retribusi atas pasar atau pelabuhan yang bukan milik pemerintah daerah (pemda). Pajak Hotel yang dikenakan atas jasa katering yang tumpang tindih dengan Undang-Undang PPN. Pajak Hiburan yang dikenakan atas taman rekreasi dan cagar budaya di daerah, padahal taman rekreasi bukan obyek Pajak Hiburan.

Mengabaikan

Mardiasmo mengatakan, meski sudah direkomendasikan batal, beberapa daerah mengabaikannya dan tetap menerapkan perda atau raperda yang sudah dibatalkan. ”Ini terjadi karena tidak ada sanksi bagi daerah yang nakal,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah berencana menerapkan sanksi. Rencana ini tengah dikaji dalam pembahasan amandemen UU PDRD yang diharapkan selesai minggu pertama Januari 2009.

”Kami sedang mengkaji sanksinya. Usulan pemerintah, setiap daerah yang melanggar rekomendasi kami akan dipotong dana perimbangannya,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto berpendapat, pembenahan ribuan perda bermasalah harus dilakukan pemerintah. Ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan krisis global saat ini.

”Masih banyak pemerintah daerah yang tidak menyadari ancaman krisis dan terus mempertahankan beragam aturan yang memberatkan perekonomian. Bagaimana mengurangi atau menghapus praktik ekonomi biaya tinggi itu konkret, apalagi pada saat krisis seperti sekarang ini,” ujar Djimanto.

Djimanto mencontohkan, di berbagai daerah, pemda mewajibkan setiap perusahaan memiliki sejumlah peralatan terkait syarat keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja yang ditentukan pemda.

”Masalahnya, setelah perusahaan membeli alat-alat yang disyaratkan, ada kewajiban membayar retribusi pengawasan oleh pemda terhadap ketersediaan dan kondisi alat-alat itu. Kan aneh, perusahaan disuruh beli, setelah itu diawasi pemda, tetapi perusahaan juga yang harus membiayai pengawasannya,” papar Djimanto. (OIN/DAY)

Pembebasan Lahan Jalan Tol Sebaiknya Dilakukan Pemerintah

ss - Pembebasan lahan jalan tol sebaiknya dilakukan pemerintah. Bila pembebasan lahan sudah selesai, baru swasta digandeng untuk mengerjakan proyek konstruksinya.

”Lambatnya pembebasan lahan Tol Trans-Jawa menunjukkan pemerintah harus berperan membebaskan lahan. Pemerintah sebaiknya menyediakan dana sekaligus membebaskan lahan,” kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Nurdin Manurung, Kamis (11/12) di Jakarta.

Nurdin menambahkan, selama biaya tanah dibebankan ke investor, sulit mempercepat pembangunan tol. Apalagi sering terjadi saling tuding antara investor dan pemerintah daerah mengenai siapa yang bersalah sehingga pembebasan lahan terlambat.

Pada proses pembebasan lahan Tol Trans-Jawa, dari Cikampek hingga Surabaya, memang terjadi keterlambatan luar biasa. Hingga kini pembebasan lahan untuk proyek tol baru 10 persen.

Tol Trans-Jawa dari Cikopo hingga Surabaya membutuhkan lahan 4.783 hektar dengan panjang 646,50 kilometer.

Dari total nilai investasi untuk proyek Tol Trans-Jawa Rp 33,88 triliun, dibutuhkan biaya pembebasan lahan Rp 3,5 triliun, termasuk dana APBN untuk membebaskan lahan tol ruas Solo-Ngawi dan Kertosono-Mojokerto.

”Kami mendukung bila pemerintah ingin mengambil alih pembebasan lahan. Risiko di sektor ini jadi lebih terukur,” ujar Harya Mitra Hidayat, Direktur Utama PT Semesta Marga Raya, perusahaan yang akan membangun ruas tol Kanci-Pejagan.

Apabila pemerintah mengambil alih pembebasan lahan, kata Nurdin, pemerintah tinggal menghitung finansialnya. Lalu, diterapkan terhadap pemangkasan tahun konsesi atau menurunkan tarif tol per kilometer.

Nurdin menjelaskan, pada Tol Trans-Jawa hanya ruas Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, dan Solo-Semarang yang menunjukkan perkembangan berarti. ”Ada masalah di beberapa ruas, seperti di ruas Cikopo-Palimanan ditolak pesantren Ciwaringin, tetapi akan diselesaikan Departemen Agama,” kata dia. (RYO)

Daerah Surplus Rp 45 Triliun


Duplikasi Program Menggerus Dana Pemerintah

Jakarta, Kompas - Di saat kondisi anggaran pemerintah pusat serba kekurangan, keuangan daerah malah berlebih. Itu ditandai dengan sisa lebih penggunaan anggaran dari seluruh daerah pada tahun 2007 yang mencapai Rp 45 triliun.

”Silpa (sisa lebih penggunaan anggaran) ini terutama dana yang dipegang oleh daerah yang memiliki sumber daya alam. Mereka memiliki dana bagi hasil dalam jumlah besar karena pada tahun 2007 dan 2008 diuntungkan oleh harga komoditas yang tinggi,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, Kamis (11/12) di Jakarta.

Menurut Sri Mulyani, surplus anggaran yang terjadi di daerah itu sangat kontras dengan kondisi fiskal APBN yang masih terus defisit. Ironisnya, di dalam APBN itu terkandung juga anggaran untuk transfer ke daerah.

”Melihat itu, seharusnya APBN tidak perlu defisit lagi karena ada banyak dana di daerah,” ujarnya.

Sri Mulyani menengarai ada banyak duplikasi program dan proyek yang terjadi selama ini sehingga untuk program atau proyek yang sama dibiayai oleh berbagai sumber dana, baik sumber pusat maupun daerah. Jika duplikasi ini bisa dihilangkan, pemerintah pusat seharusnya bisa lebih menghemat anggaran.

”Saya pernah diberi tahu warga Nusa Tenggara. Dia bilang di belakang rumahnya ada tiga saluran air yang dibangun Departemen Pekerjaan Umum, dana gubernur, dan bupati. Selain itu, di sektor pendidikan sebenarnya sudah jadi tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi tetap saja harus ada anggaran 20 persen dari APBN yang dialokasikan di Departemen Pendidikan Nasional. Seharusnya itu tak perlu terjadi,” paparnya.

Masalah pencairan

Gubernur Sumatera Selatan sekaligus Ketua Harian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Kota Seluruh Indonesia Alex Noerdin mengatakan, menumpuknya silpa terjadi karena ada masalah pencairan anggaran. Pencairan triwulan I dan II biasanya tepat waktu. Namun, jatah triwulan III dan IV sering terlambat.

”Sering kali, jatah yang dicairkan untuk triwulan III dan IV digabungkan pada Desember. Maka, tak ada yang bisa digunakan di lapangan,” ujarnya.

Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo menyebutkan, dari Rp 45 triliun silpa itu, Rp 32 triliun di antaranya disimpan di Sertifikat Bank Indonesia. ”Kami mendorong agar daerah membeli Surat Utang Negara agar bisa digunakan untuk pembangunan,” ujarnya (OIN)

Kamis, 04 Desember 2008

Pilgub Putaran III (1)


Teologi Perlawanan Masyarakat Madura

INI rekor baru dalam pesta demokrasi tingkat provinsi di Indonesia. Di Provinsi lain belum ada pemilihan gubernur (Pilgub) sampai dilaksanakan 3 putaran.

Di Jatim fenomena semacam itu bakal terjadi. Di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, Madura bakal digelar Pilgub Jatim putaran III. Sedang di Kabupaten Pamekasan hanya dilakukan penghitungan ulang atas hasil coblosan Pilgub putaran II.

Perintah yuridis-formal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah menyidangkan sengketa rekapitulasi suara Pilgub putaran II. Sengketa ini melibatkan duet cagub-cawagub Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) versus KPU Jatim dan Panwas. Pihak terkait dengan kasus ini adalah duet cagub-cawagub Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Pilgub Jatim menjadi perhelatan pesta demokrasi tingkat provinsi paling mahal dan paling melelahkan di Indonesia.

Tak kurang nilai anggaran sekitar Rp 850 miliar tersedot untuk menentukan seorang figur gubernur dan wakil gubernur di provinsi berpenduduk 37 juta jiwa lebih ini.

Maklum, jumlah pemilih Pilgub sangat besar, yakni mencapai 29,2 juta pemilih, yang memberikan hak suaranya di 62 ribu lebih tempat pemungutan suara (TPS).

Kenapa pelanggaran Pilgub putaran II hanya terjadi di Madura, khususnya di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan? Bahkan, MK dalam putusannya mengatakan bahwa bentuk pelanggaran itu bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Apakah hal itu ada kaitan dengan perspektif latar politik, antropologis, kultural, dam sosiologis masyarakat Madura, khususnya komunitas Madura di Bangkalan dan Sampang?

“Warga Madura itu umumnya tak mudah diikat dan bersifat egaliter. Karena itu, ada sedikit saja kekuatan, baik negara maupun nonnegara, mengobok-obok kebebasan mereka, ya pasti akan dilawan. Buktinya tak hanya di Pilgub putaran II, pada Pemilu terakhir rezim Orde Baru tahun 1997, juga terjadi coblosan ulang di Sampang,” kata pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Prof Dr Solichin Abdul Wahab MA, Kamis (4/12).

Bentuk perlawanan yang dilakukan warga Madura ketika kebebasan mereka diobok-obok bisa dalam bentuk diam, bersuara secara terbuka, dan aksi fisik. Kalau aksi fisik seperti pada kasus pembebasan tanah untuk pembangunan Waduk Nipah di Sampang pada tahun 1993, dimana persilisihan ini berujung terjadinya bentrokan fisik antara warga yang menguasai lahan dan militer.

Sejumlah nyawa melayang. Saat itu, Sampang di bawah pimpinan Bupati Bagus Hinayana yang berlatar belakang militer (TNI AD). “Itulah potret antropologi politik masyarakat Madura di Sampang. Hal itu tak jauh dengan komunitas masyarakat Madura lainnya di Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep,” kata Solichin yang meraih gelar doktor (S3) bidang kebijakan publik dari Wageningen of University Belanda.

Pada Pemilu 1997 memang terjadi huru-hara politik di Sampang. Sejumlah TPS dibakar berikut perangkat keras lain yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu. Aksi ini muncul sebagai respon kalangan yang tak puas dengan penyelenggaraan pesta demokrasi yang sarat rekayasa penguasa.

Kabupaten Sampang sejak Pemilu 1992 dikuasai Golkar. Pada Pemilu 1997, kemenangan itu itu coba direbut lagi oleh PPP. Kombinasi mesin Golkar plus intervensi birokrasi dan militer mencoba mempertahankan kemenangan Golkar di Sampang. Berbagai bentuk kecurangan dan pelanggaran Pemilu berlangsung tanpa ada peringatan dan sanksi. Warga protes. Anarkisme terjadi di sejumlah titik lokasi di Sampang.

Pemilu Ulang

Warga, khususnya elite dan simpatisan PPP di bawah pengaruh kuat KH Alawy Muhammad, menuntut Pemilu ulang di semua TPS di Sampang. Elite PPP saat itu menuntut dilakukannya Pemilu ulang di 1.033 TPS.

Penyebabnya, semua kotak suara, termasuk formulir CA-1, terbakar sewaktu kerusuhan 29 Mei 1997 malam. Anarkisme massa itu meledak karena banyak warga yang tak didaftar sebagai pemilih, saksi PPP sebagian besar tak diberi formulir CA-1, dan kepanitiaan di semua tingkatan tak menerapkan prinsip luber dan jurdil.

Kenyataannya, dari 1.033 TPS yang dituntut elite PPP Sampang untuk digelar Pemilu ulang, hanya disetujui 86 TPS. Dalam pelaksanaannya, ternyata tak semua TPS diulang. Ada 21 TPS yang tak diulang, sedang sisanya 65 TPS tetap melakukan coblos ulang.

Alasannya, CA-1-nya ditemukan atau ada yang masih menyimpan. Beberapa TPS yang tak jadi melaksanakan coblosan ulang itu antara lain 5 TPS di Desa Gunung Sekar, 2 TPS Rong tengah, 7 TPS Delpenang, 1 TPS Gunung Maddah, dan 6 TPS Tenggumung. Pemilu ulang tahun 1997 di Sampang itu tanpa partisipasi PPP. Sebab, pemilu tersebut tak dilaksanakan di seluruh TPS di Sampang sebagaimana tuntutan elite partai ini.

Pengurus PPP meminta Pemilu ulang secara keseluruhan harus digelar, karena hampir di semua TPS diwarnai pelanggaran dan kecurangan bersifat terstruktur dan sistemis. Akhirnya, ending Pemilu 1997 menempatkan Golkar merebut kursi terbanyak sebanyak 21 kursi dan PPP 16 kursi.

Saat itu yang menjadi Bupati Sampang adalah Fadhilah Budiono, yang di kemudian hari setelah rezim Orde Baru tumbang, menjadi tokoh PPP. Dia didukung partai berasas Islam itu untuk merebut kursi Bupati Sampang untuk masa jabatan kedua.

Fenomena Pemilu ulang di Sampang, Madura tahun 1997 adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Peristiwa politik itu jadi cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia. Sekali lagi, Sampang memberikan inspirasi politik kepada warga lainnya untuk memberikan perlawanan dalam bentuk action kepada kekuatan negara dan nonnegara yang mencoba mengobok-obok kebebasan politik mereka.

Perlawanan itu tak sekadar bergerak di ranah teori semata. “Posisi Sampang yang berada di tengah-tengah Pulau Madura lebih memperlihatkan karakter keras dibanding komunitas Madura di Sumenep dan Pamekasan. Tapi, saya tak mengatakan mereka dalam kategori ekstreminitas dibanding komunitas lainnya di Madura,” kata Solichin Abdul Wahab.

Di sisi lain, secara keseluruhan beda suara Kaji versus Karsa pada Pilgub putaran II di 3 kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan) sekitar 220 suara untuk kemenangan Karsa. Namun, setelah turun putusan MK justru Kaji lebih unggul 138.746 suara dibanding Karsa.

Merujuk rekapitulasi suara KPU Jatim hasil Pilgub putaran II, Karsa mendapat 7.729.944 suara, sedang Kaji sebesar 7.669.721 suara. Selisih suara antara Karsa dan Kaji sebanyak 60.223 suara untuk kemenangan Karsa.

Dengan adanya putusan MK tersebut, suara Kaji menjadi 7.336.357 suara. Jumlah suara tersebut setelah dikurangi perolehan suara Kaji di Bangkalan dan Sampang sebanyak 333.364 suara. Sedang suara Karsa menjadi 7.197.611 suara.

Tingkat suara Karsa ini berdasarkan penghitungan suara Karsa versi rekapitulasi suara KPU Jatim dan dikurangi dengan suaranya di Bangkalan dan Sampang sebanyak 532.333 suara. Terlepas dari faktor penghitungan ulang di Pamekasan, maka suara Kaji untuk sementara lebih unggul sebanyak 138.746 suara. (Ainur Rohim-46)

Hitung Cepat dalam Pilgub Jawa Timur



KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN / Kompas Images
Para petugas Panitia Pemungutan Suara melakukan pengitungan surat suara seusai penutupan pencoblosan pemilihan gubernur putaran II di TPS 1 Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (4/11).
Jumat, 5 Desember 2008 | 03:00 WIB


Deni Irvani

Hasil Pemilihan Gubernur Jawa Timur telah mendorong Bestian Nainggolan menulis di Kompas (17/11) dengan judul ”Masih Layakkah Survei Dipercaya?” untuk menyimpulkan bahwa lembaga survei di Indonesia tidak layak dipercaya karena hasil quick count lembaga-lembaga survei itu meleset dari hasil perhitungan KPUD.

Sebenarnya sudah banyak penjelasan bahwa hasil penghitungan cepat (quick count) dan hasil KPU Jawa Timur itu secara statistik tidak berbeda. Tetapi, tampaknya penjelasan-penjelasan itu belum cukup.

Di samping itu, karena isi tulisan tersebut dirasakan cukup provokatif dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, sebagai pihak yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan quick count pada Pilgub Jawa Timur, saya merasa perlu menulis secara khusus untuk menjelaskannya.

”Margin of error”

Quick count bertumpu pada sampel dan di Jawa Timur, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menetapkan sampelnya 400 TPS atas dasar beberapa pertimbangan.

Pertama, diperkirakan selisih perolehan suara Karsa dan Kaji dari quick count akan lebih dari 4 persen sehingga selisih tersebut secara statistik signifikan dengan teknik kombinasi stratified-cluster sampling.

Kedua, penambahan sampel akan meningkatkan biaya pelaksanaan quick count.

Ketiga, menurut puluhan kali quick count, selisih yang sangat tipis, di bawah 1 persen, sangat jarang terjadi. Hanya terjadi di putaran pertama Pilgub Kalimantan Timur, di Pilgub Maluku Utara, dan di Pilgub Sulawesi Selatan.

Karena bersandar pada sampel, quick count pasti ada error-nya: tidak akan persis sama dengan hasil penghitungan seluruh TPS.

Di Jawa Timur, LSI menyatakan sejak awal bahwa error ini bisa +/- 1-2 persen untuk memudahkan perhitungan. Pada dasarnya, margin of error quick count di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini terjadi bukan hanya karena jumlah sampelnya berbeda, tapi terutama juga karena besaran variasi antar-cluster ataupun antarstrata di setiap pilkada tidak sama. Namun, berdasarkan pengalaman, batasan margin of error di +/- 1-2 persen secara umum bisa menjadi acuan.

Margin of error yang kami umumkan tersebut tidak diterima oleh Saudara Bestian. Menurut dia, untuk sampel 400 TPS seperti yang digunakan LSI yang sebanding dengan 80.000 pemilih, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error-nya +/- 0,3 persen. Jadi, cukup jauh dari +/- 1-2 persen.

Margin of error Bestian itu tampaknya dihitung dengan asumsi bahwa penarikan sampel dalam quick count tersebut dilakukan dengan teknik simple random sampling dan unit penarikan sampel terkecilnya berupa suara tiap pemilih. Asumsi Bestian ini tidak tepat sebab teknik sampling yang digunakan LSI adalah stratified cluster sampling. Bestian harusnya menghitung efek dari stratifikasi dan cluster tersebut untuk mengetahui secara lebih teliti margin of error quick count LSI.

Pertanyaannya, mengapa stratified-cluster sampling, bukan simple random sampling saja? Secara teknis, simple random sampling tidak mungkin diterapkan untuk quick count karena sebelum pencoblosan, teknik ini menuntut kita tahu populasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara sah lengkap dengan identitasnya sehingga ketika terpilih sebagai sampel, bisa dicari dan dicatat. Padahal, data ini hanya diketahui setelah pencoblosan selesai dan tiap-tiap hasil coblos itu pun tanpa identitas. Jadi, simple random sampling dengan unit penarikan sampel terkecil berupa suara tiap pemilih tidak mungkin diterapkan.

Jalan keluar dari kesulitan itu adalah stratified cluster sampling. Stratifikasi pada dasarnya untuk mereduksi variasi di dalam sampel sehingga bisa mengurangi error. Sementara cluster untuk memudahkan penarikan sampel, tapi berpotensi menaikkan variasi di dalam sampel dan karena itu meningkatkan error. Berapa besar efek stratifikasi dan cluster ini terhadap total error dalam teknik stratified cluster sampling dengan TPS 400 itu?

Dalam Pilgub Jatim, populasi TPS-nya 62.765 untuk seluruh provinsi dikelompokkan menurut kabupaten/kota. Di tiap-tiap kabupaten/kota itu ditentukan proporsi TPS yang harus dipilih sesuai dengan jumlah atau populasi TPS di tiap-tiap kabupaten/kota tersebut, dan ini juga sesuai dengan proporsi populasi pemilih.

Dalam ilmu statistika, bagian ini dinamakan proses stratifikasi. Kemudian di setiap kabupaten/kota ditarik sampel TPS secara acak dengan jumlah yang proporsional tadi. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari populasi TPS di tiap-tiap kabupaten dan kota. Bagian kedua ini disebut cluster sampling.

Hasil quick count menunjukkan bahwa pasangan Kaji mendapat suara 50,44 persen dan pasangan Karsa mendapat suara 49,56 persen. Dengan hasil prediksi suara yang sangat ketat tersebut, dalam rilisnya kepada pers, LSI menyatakan tidak bisa menyimpulkan siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilgub Jatim.

Pertanyaan yang kemudian mungkin muncul adalah apa yang mendasari kesimpulan tersebut, padahal menurut perhitungan simple random sampling margin of error-nya (+/- 0,3 persen) kurang dari separuh selisih suara Kaji dan Karsa menurut quick count LSI (0,44 persen)?

Formula untuk menghitung margin of error quick count LSI adalah sebagai berikut:

Dengan formula di atas, margin of error quick count LSI pada Pilgub Jawa Timur putaran kedua diprediksikan sebesar +/- 1,7 persen, bukan +/- 0,3 persen seperti yang dihitung oleh Bestian dengan asumsi simple random sampling itu. Dengan margin of error +/- 1,7 persen, suara Karsa sebesar 47,9 persen sampai 51,3 persen, sedangkan suara Kaji 48,7 persen sampai 52,1 persen. Artinya, suara kedua calon tidak berbeda signifikan sehingga tidak ada bukti yang kuat untuk dijadikan landasan untuk menarik kesimpulan siapa di antara kedua calon yang akan memenangi pilkada. Pemenangnya bisa Kaji, bisa Karsa.

Selisih antara prediksi quick count LSI dan hasil resmi KPU Jatim hanya 0,64 persen, yang berarti masih di dalam rentang margin of error 1,7 persen. Dengan demikian, tidak ada masalah dengan hasil quick count yang diumumkan LSI.

Semoga tulisan ini bisa dipahami oleh pemerhati quick count sehingga tidak gegabah dalam memberi pernyataan yang terkesan menafikan kredibilitas lembaga survei dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman masyarakat.

Deni Irvani Peneliti Lembaga Survei Indonesia

KPU Jatim Bisa Tolak Putusan MK



JAKARTA- Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) dapat menolak secara tegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pengulangan pelaksanaan pemilihan Gubernur. Demikian dikatakan Wakil Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Muji Kartika Rahayu di Kantor KRHN, Kamis (4/12).

Dia menjelaskan, dalam UU 12 tahun 2008 sebagai pengganti UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 233 secara tegas melarang pilkada putaran kedua dilakukan pada Januari 2008, menyusul persiapan Pemilu 2009.
Jika memperhatikan UU tersebut, MK sama sekali tidak mempertimbangkan pasal di atas. Sayangnya, pihak KPU Jatim juga tidak memasukkan pasal itu dalam pertimbangan kepada majelis konstitusi. ”Tampaknya mereka (MK dan KPU Jatim) sama-sama tidak sadar sudah ada UU yang mengatur,” ujarnya.
Muji mengatakan, penolakan tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan kepada MK agar tidak mengulangi putusan yang bertentangan dengan aturan perundangan yang telah ada.

Mantan anggota KPU Jateng Hasyim Asy’ari menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pilgub Jatim setengah hati. Sebab tidak memenangkan pihak manapun dan malah memerintahkan pemungutan suara ulang di Sampang dan Bangkalan, serta penghitungan suara ulang di Pamekasan.

Sebenarnya putusan MK bersifat final, tapi dengan dibuka ruang pemungutan dan penghitungan ulang menjadikan putusan tersebut tidak final, karena hasilnya akan ditetapkan sebagai hasil akhir oleh KPU Jatim yang nantinya juga bisa digugat ke MK lagi. ”Di sini letak keanehannya,” katanya.

Menurut UU 24/2003 tentang MK, putusan MK bersifat final. Artinya tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut. Mestinya perintah MK menghitung ulang atau pungutan suara ulang dilaksanakan dalam konteks mencari bukti atau pembuktian sebelum muncul putusan akhir. Hal itu pernah dilakukan (perintah hitung ulang dalam konteks pembuktian seblum putusan) saat gugatan hasil pemilu 2004 di Sumenep. Nah, kalau yang sekarang ini, pungutan suara ulang di dua kabupaten itu sama artinya dengan pilkada ulang di dua wilayah tersebut.

Proses mulai dari pungutan dan penghitungan suara di TPS, rekap di PPK, KPU kabupaten dan rekap di KPU provinsi. Akhirnya KPU Jatim akan membuat keputusan baru tentang hasil pilgub Jatim. Padahal menurut UU Pemilu (UU 32/2004 dan UU 10/2008) pungutan dan hitung suara ulang adalah bagian dari electoral process yang hanya dapat dilakukan di tingkat tertentu (TPS/PPK tertentu) yang terdapat salah hitung, dengan mekanisme adanya rekomendasi panwas kecamatan dan PPK yang memutuskan perlu atau tidak pungutan atau penghitungan ulang.

Itu pun ada batas waktunya maksimal 7 hari setelah hari pungut suara untuk pungut suara ulang, bukan setelah penetapan hasil akhir. Kalau ada pungut suara ulang di dua kabupaten dan hitung ulang di satu kabupaten, pada akhirnya akan ada keputusan baru KPU Provinsi Jatim tentang hasil pilgub dan keputusan tersebut juga dapat digugat lagi ke MK bila ada yang tidak puas atau mengklaim ada salah hitung lagi. Ini berarti putusan MK belum final. Belum lagi kalau yang hadir atau suara sah jumlahnya berbeda dengan pilgub terdahulu.

Koordinator Divisi Politik KRHN Julianto mengatakan, penghitungan ulang dan pemungutan suara ulang di beberapa kabupaten di Jawa Timur sebagai sanksi dinilai tidak tepat. Langkah yang dilakukan MK dengan menerobos hukum ternyata menyebabkan ketidakpastian hukum penyelesaian sengketa mengenai hasil pemilihan gubernur. ”MK juga telah melepaskan tanggung jawab konstitusionalnya dalam menyelesaikan sengketa Pilkada Jatim,” ujarnya.

Sebelumnya, MK memerintahkan KPU Jatim untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang. Pemilihan ulang itu harus dilaksanakan paling lambat 60 hari sejak putusan itudibacakan.
Selain itu, dalam membacakan putusan, Ketua MK Mahfud MD mengatakan KPU Jatim harus melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos dalam waktu paling lambat 30 hari.

MK juga memerintahkan KPU dan Bawas Pemilu untuk mengawasi pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang, sesuai dengan kewenangannya.

Ketua FPD DPR Syarief Hasan mengatakan, pemilihan kepala daerah Jawa Timur bukan ‘pertarungan kecil’ antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melawan calon presiden Megawati Soekarnoputri. ”Lebih baik kita kembalikan ke masyarakat Jatim karena pilkada ini kan rakyat yang memilih pemimpin yang dikehendaki. Jadi, berlebihan jika hal ini dianggap sebagai head to head antara SBY dan Mega.” (J13,J22-49)